Minggu, 29 November 2009

SPIRIT MUSIK DAN PUJI-PUJIAN PENGIRING LITURGI

(DIALOG DARI KONSISTORI GEREJA)

Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi adalah salah satu aspek penting dalam sebuah kebaktian. Musik dan Puji-pujian dapat menggugah setiap Warga Jemaat lebih khusuk dalam beribadah. Musik dan Puji-pujian mampu menghadirkan nuansa kudus dan hiktmat saat berbakti. Musik dan Puji-pujian ditujukan semata-mata untuk memuji dan memuliakan ALLAH.
 Ada kecenderungan di setiap kebaktian di gereja-gereja dalam lingkup GMIT, selalu terjadi ketidakharmonisan dan ketidakwajaran pada Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi. Dan ini dianggap sebagai hal yang wajar baik oleh Warga Jemaat sendiri maupun para Pendeta. Ini terlihat dari jarang/tidak pernah adanya pengaduan, saran maupun kritik yang membangun terhadap Organis dan/atau Pemimpin Pujian. Kalau pun ada, hanya berkisar pada penekanan tentang tempo (cepat/lambat) bermusik/bernyanyi. Padahal, masih banyak hal-hal mendasar lainnya yang harus diperhatikan (nilai, harga dan karakter notasi, ketukan, dinamika, perasaan, dll) sebagai aturan/prinsip dasar bermusik/bernyanyi.
            Pernah terjadi di saat sedang berlangsung puji-pujian, Pendeta, dari atas mimbar, menyarankan agar bernyanyi harus dengan tempo yang lebih cepat, katanya, harus disesuaikan dengan karakter lagu yang dinyanyikan. Namun yang terjadi, justru lagu/pujian tersebut menjadi sangat aneh/tidak wajar, karena  menyalahi aturan/prinsip dasar bermusik/bernyanyi lainnya. Padahal perlu diketahui, bahwa tempo (cepat/lambatnya) sebuah lagu/pujian itu bersifat relatif, demi menjaga agar tidak terkesan sangat cepat (baca: tergesa-gesa) atau sangat lambat (baca: loyo). Tempo dimainkan/dinyanyikan sewajar mungkin, tidak harus asal cepat sampai-sampai mengabaikan tanda baca/symbol notasi; nilai, harga dan karakter notasi, dan ketukan yang ada. Seharusnya semua Warga Jemaat maupun Pendeta harus peka dengan kondisi seperti ini. Semua lagu/pujian sudah pasti memiliki aturan-aturan dasar seperti disebutkan di atas yang harus ditaati oleh siapapun tanpa kecuali.
            Dari balik konsistori Gereja, terdengar percakapan serius antara Pendeta dan pemain organ Gereja (Organis). Pokok pembicaraannya berkisar pada ‘Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi’. Berikut ini adalah petikan dialog antara seorang Pendeta yang peduli dengan Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi dan Organis:
            “Maaf, tadi nyanyiannya agak kurang pas, ya? Maksudnya tidak sinkron antara yang bernyanyi dan iringan musik!” Tanya Pendeta memulai percakapan.
            “Oh, ya, pak! Memang kurang pas!” Jawab Organis pasti.
            “Kira-kira apa masalahnya…? Soalnya di kebanyakan Gereja (baca: GMIT) yang pernah saya pimpin, hampir selalu menemui masalah yang sama!” Lanjut Pendeta berkeluh kesah.
            “Ya, kira-kira begitu! Dan sepertinya akan tetap begitu seterusnya!” Jawab Organis seadanya.
            “Hmm? Kenapa bisa begitu, ya? Tanya Pendeta antusias.
            “Soalnya yang saya lihat selama ini, pada umumnya Warga Gereja/Jemaat (baca: warga GMIT) tidak menguasai lagu-lagu yang ada di dalam liturgi; baik itu lagu-lagu di Kidung Jemaat (KJ), Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ), dan Nyanyikan Kidung Baru (NKB) secara baik dan benar! Mereka merasa ketidaktahuan mereka adalah hal biasa dan bukan urusan mereka. Saya tidak tahu ini salah siapa! Tapi sepertinya untuk membenahinya, kita butuh proses pembelajaran yang serius dan panjang! Yang lebih memprihatinkan lagi, pak, generasi muda hari ini sudah tidak lagi berminat untuk mempelajari lagu-lagu tersebut! Menurut mereka lagunya ‘jadul’ (jaman dulu = kuno, pen), tidak bersemangat dan seterusnya! Bahkan ada kalangan tertentu yang mencap lagu-lagunya tidak menghadirkan kuasa Roh Kudus! Lagu-lagu pop rohani yang ada di Cassette dan CD lebih mantap!” Jawab Organis mengritik.
            “Iya, ya…?” Pendeta tertegun. “Sebenarnya ini salah dari kita-kita sebagai pemimpin umat, sudah sejak lama kita selalu menyepelekan hal-hal yang berhubungan dengan puji-pujian! Jangankan Jemaat, Pendeta-pendeta pun kadang tidak menguasai lagu-lagu dengan baik dan benar! Padahal dalam satu kebaktian, puji-pujian juga memegang peranan yang sangat penting!” Jawabnya terus terang. “Khotbah boleh bagus, lain-lainnya boleh bagus, tapi kalau puji-pujiannya amburadul, ya, kebaktiannya menjadi tidak hikmat, nilai kekudusannya menjadi tidak ada! Dan lagi, bisa jadi kita semua pulang tapi tidak membawa damai sejahtera!” Lanjutnya prihatin.
“Iya, pak! Menurut saya, ini hal serius yang harus menjadi fokus perhatian bagi kita semua baik sebagai Pemimpin Umat maupun Warga Gereja (GMIT) mulai dari sekarang! Saya khwatir, dalam perkembangan mendatang, lagu-lagunya (KJ, PKJ, dan NKB) tidak lagi diminati sama sekali oleh generasi muda! Kalau boleh saya katakan, pak, generasi muda saat ini telah mewarisi cara dan/atau kebiasaan yang salah terhadap penerapan lagu-lagu tersebut! Tidak bisa dipungkiri jika lagu-lagunya sudah dibawakan dengan cara yang salah sejak turun-temurun; mengabaikan aturan-aturan standard (nilai, harga dan karakter notasi, tempo, dinamika dan perasaan) dalam bernyanyi dan bermusik!  Sehingga generasi yang hidup di tengah perkembangan musik modern tentu pindah ke lain hati. Mereka akan bertanya-tanya, kenapa lagu-lagu yang dinyanyikan di Gereja (GMIT) terdengar aneh dan tidak beraturan! Sedangkan musik modern mempunyai keteraturan jelas, tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar bermusik / bernyanyi, dan sesuai dengan kondisi zaman saat ini!” Jelas Organis.
“Betul sekali!” Pendeta membenarkan. “Padahal kalau mau dilihat, lagu-lagunya merupakan suatu kekayaan rohani Gereja di seluruh dunia, sarat dengan nilai-nilai Iman Kristiani, mengandung spiritualitas yang dalam dan bermanfaat, dan memperlihatkan pergumulan rohani Gereja-gereja. Lagu-lagunya pun adalah lagu-lagu yang sudah popular di Gereja-gereja baik di daerah-daerah di Indonesia maupun di dunia. Saya rasa lagu-lagunya memiliki warna tersendiri yang tidak dimiliki oleh lagu-lagu kontemporer. Tapi bagaimana kita bisa meyakinkan Jemaat (generasi muda) untuk kembali mencintai lagu-lagu tersebut? Mungkin perlu ada penjelasan khusus dari segi musikalitasnya, atau dari sudut pandang lain? Soalnya kita harus mulai berbenah dari sekarang!” Lanjutnya serius.
“Betul, pak Pendeta! Ada 4 (empat) hal yang perlu diperhatikan: Pertama,  dari segi musikalitasnya, sebenarnya lagu-lagu yang dipakai oleh GMIT sangat berkualitas! Terlihat jelas dari arransemennya, jika dimainkan dengan baik akan terasa sangat indah, menghadirkan unsur-unsur harmoni musik klasik yang sangat kental, dan penuh dengan nuansa-nuansa kudus dan hikmat!  Berdasarkan pengalaman, lagu-lagu tersebut dimainkan secara tidak benar (asal-asalan), sehingga tidak memberi kesan positif bagi yang mendengarnya! Kedua, ada kecenderungan lagu-lagu tersebut dimainkan dengan arransemen yang dipaksakan sama dengan lagu-lagu modern, sehingga tentunya lagu-lagu tersebut menjadi lagu-lagu yang sangat ‘biasa-biasa saja’; tidak memiliki kelebihan atau kualitas yang diharapkan! Apalagi dimainkan oleh Organis yang memiliki skill dan kompetensi yang minim! Padahal menurut hemat saya, lagu-lagu tersebut memiliki genre (jenis atau aliran musik klasik) tersendiri yang tidak dimiliki oleh lagu-lagu modern pada umumnya! Ketiga, khususnya di dalam Kidung Jemaat, lagu-lagunya diseleksi dari berbagai sumber oleh tim khusus yang tergabung di dalam YAMUGER: Yayasan Musik Gerejawi di Indonesia! Tim penyusun arransemennya pun terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi musik luar biasa! Itu bisa dilihat dari hasil arransemen yang disusun di dalam Buku Kidung Jemaat Edisi Harmoni (Notasi Balok) dan Kidung Jemaat Edisi Akord (Notasi Angka)! Dan Keempat, khusus di dalam KJ, kita bisa melihat himpunan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia hasil karya anak-anak Tuhan yang berkualitas,  bahkan dari berbagai negara dengan pencipta-pencipta terkenal dari abad pertengahan! Sebut saja nama-nama seperti Ludwig van Beethoven (KJ. 3), Wolfgang Dachstein (KJ. 24b), Johann Sebastian Bach (KJ. 115), dan lain-lain! Apakah patut bila kita menganggap rendah karya-karya mereka??? Apakah patut bila kita menilai lagu-lagu mereka tidak indah??? Tidak berkualitas??? Mereka adalah Komponis-komponis hebat abad pertengahan dengan karya-karya spektakuler, yang belum tergantikan oleh siapapun di muka bumi ini hingga dengan saat ini! Bagi mereka yang pernah belajar musik klasik, tentu nama-nama di atas tidak asing lagi, karena belajar musik klasik identik dengan mempelajari dan/atau memainkan karya-karya mereka yang tidak pernah mati ditelan waktu!” Terang Organis berapi-api.
“Luar biasa!” Ucap Pendeta bersemangat. “Kalau saja informasi ini sampai ke semua Warga Gereja, khususnya sampai pada mereka yang terlanjur menganggap remeh tentang kualitas lagu-lagu pengiring kebaktian kita, pasti akan berubah pikiran! Dan untuk mencapai kualitas permainan/performa dimaksud, tentunya dituntut kerja keras juga dari Organis Gereja dan Pemimpin Pujian yang bertugas! Perlu suatu pelatihan dan persiapan khusus demi tujuan tersebut!” Cetus Pendeta penuh harap.
“Betul sekali, pak! Kita harus bisa menghapus semua anggapan negatif, dan menunjukkan kualitas puji-pujian terbaik demi kemualiaan ALLAH! Gereja harus memberi pelatihan dan persiapan khusus bagi mereka!” Ujar Organis pasti.
“Mungkin ada informasi dan tips untuk para Organis Gereja dan Pemimpin Pujian?” Tanya Pendeta.
“Iya, pak! Khusus untuk para Organis Gereja: YAMUGER telah menerbitkan Buku Kidung Jemaat Edisi Harmoni (Notasi Balok) dan Kidung Jemaat Edisi Akord (Notasi Angka). Khusus KJ Edisi Akord, di dalamnya telah diarransemen lagu-lagu secara keseluruhan dengan mencantumkan akord di setiap lagunya! Untuk kebanyakan orang Indonesia (khususnya Organis, pen), Edisi Akord lebih cocok karena sebagian besar pemain musik otodidak lebih memahami petunjuk notasi angka dan akord! Buku tersebut dapat dibeli di toko-toko buku rohani! Dengan mempelajarinya, seorang Organis akan memperoleh ‘rasa baru’ terhadap lagu-lagu yang ada, dimana lagu-lagunya terasa sangat indah, hikmat dan kudus, bahkan terlihat jelas kualitas musik yang sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh musik/lagu kontemporer. Dari buku tersebut juga, seorang Organis dapat terus belajar meningkatkan dan memperkaya skill dan kompetensi permainan, dengan demikian bisa menjadi modal dasar baginya untuk dengan sendirinya mampu mengaransemen lagu-lagu Gerejawi lainnya (seperti PKJ dan NKB yang belum ada arransemennya) dengan baik dan benar! Untuk Pemimpin Pujian: Melakukan latihan secara intensif dengan tetap memperhatikan tanda baca/symbol, unsur-unsur lain yang menentukan nilai, harga dan karakter notasi, dinamika, perasaan, tempo dan ketukan yang tepat! Dengan demikian maka diharapkan puji-pujian pengiring liturgy mempunyai ‘jiwa’, dan dapat memberi semangat bagi warga Gereja (warga GMIT) dalam memuji dan memuliakan ALLAH, di samping turut menjaga dan memelihara kekhusukan dalam beribadah!” Saran Organis.

0 comments:

Posting Komentar