Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi
adalah salah satu aspek penting dalam sebuah kebaktian. Musik dan Puji-pujian dapat menggugah setiap Warga Jemaat lebih khusuk dalam beribadah. Musik dan Puji-pujian mampu menghadirkan
nuansa kudus dan hiktmat saat berbakti. Musik
dan Puji-pujian ditujukan semata-mata untuk memuji dan memuliakan ALLAH.
Pernah
terjadi di saat sedang berlangsung puji-pujian, Pendeta, dari atas mimbar, menyarankan
agar bernyanyi harus dengan tempo yang lebih cepat, katanya, harus disesuaikan dengan
karakter lagu yang dinyanyikan. Namun yang terjadi, justru lagu/pujian tersebut
menjadi sangat aneh/tidak wajar, karena menyalahi
aturan/prinsip dasar bermusik/bernyanyi lainnya. Padahal perlu diketahui, bahwa
tempo (cepat/lambatnya) sebuah
lagu/pujian itu bersifat relatif, demi menjaga agar tidak terkesan sangat cepat
(baca: tergesa-gesa) atau sangat lambat (baca: loyo). Tempo dimainkan/dinyanyikan sewajar mungkin, tidak harus asal cepat
sampai-sampai mengabaikan tanda
baca/symbol notasi; nilai, harga dan karakter notasi, dan ketukan yang ada. Seharusnya semua Warga
Jemaat maupun Pendeta harus peka dengan kondisi seperti ini. Semua lagu/pujian
sudah pasti memiliki aturan-aturan dasar seperti disebutkan di atas yang harus
ditaati oleh siapapun tanpa kecuali.
Dari
balik konsistori Gereja, terdengar percakapan serius antara Pendeta dan pemain
organ Gereja (Organis). Pokok pembicaraannya berkisar pada ‘Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi’. Berikut ini adalah
petikan dialog antara seorang Pendeta yang peduli dengan Musik dan Puji-pujian Pengiring Liturgi dan Organis:
“Maaf,
tadi nyanyiannya agak kurang pas, ya? Maksudnya tidak sinkron antara yang
bernyanyi dan iringan musik!” Tanya Pendeta memulai percakapan.
“Oh,
ya, pak! Memang kurang pas!” Jawab Organis pasti.
“Kira-kira
apa masalahnya…? Soalnya di kebanyakan Gereja (baca: GMIT) yang pernah saya
pimpin, hampir selalu menemui masalah yang sama!” Lanjut Pendeta berkeluh
kesah.
“Ya,
kira-kira begitu! Dan sepertinya akan tetap begitu seterusnya!” Jawab Organis seadanya.
“Hmm?
Kenapa bisa begitu, ya? Tanya Pendeta antusias.
“Soalnya
yang saya lihat selama ini, pada umumnya Warga Gereja/Jemaat (baca: warga GMIT)
tidak menguasai lagu-lagu yang ada di dalam liturgi; baik itu lagu-lagu di
Kidung Jemaat (KJ), Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ), dan Nyanyikan Kidung Baru
(NKB) secara baik dan benar! Mereka
merasa ketidaktahuan mereka adalah hal biasa dan bukan urusan mereka. Saya
tidak tahu ini salah siapa! Tapi sepertinya untuk membenahinya, kita butuh
proses pembelajaran yang serius dan panjang! Yang lebih memprihatinkan lagi,
pak, generasi muda hari ini sudah tidak lagi berminat untuk mempelajari
lagu-lagu tersebut! Menurut mereka lagunya ‘jadul’ (jaman dulu = kuno, pen),
tidak bersemangat dan seterusnya! Bahkan ada kalangan tertentu yang mencap
lagu-lagunya tidak menghadirkan kuasa Roh Kudus! Lagu-lagu pop rohani yang ada
di Cassette dan CD lebih mantap!” Jawab Organis mengritik.
“Iya,
ya…?” Pendeta tertegun. “Sebenarnya ini salah dari kita-kita sebagai pemimpin
umat, sudah sejak lama kita selalu menyepelekan hal-hal yang berhubungan dengan
puji-pujian! Jangankan Jemaat, Pendeta-pendeta pun kadang tidak menguasai
lagu-lagu dengan baik dan benar!
Padahal dalam satu kebaktian, puji-pujian juga memegang peranan yang sangat
penting!” Jawabnya terus terang. “Khotbah boleh bagus, lain-lainnya boleh
bagus, tapi kalau puji-pujiannya amburadul, ya, kebaktiannya menjadi tidak hikmat,
nilai kekudusannya menjadi tidak ada! Dan lagi, bisa jadi kita semua pulang tapi
tidak membawa damai sejahtera!” Lanjutnya prihatin.
“Iya, pak!
Menurut saya, ini hal serius yang harus menjadi fokus perhatian bagi kita semua
baik sebagai Pemimpin Umat maupun Warga Gereja (GMIT) mulai dari sekarang! Saya
khwatir, dalam perkembangan mendatang, lagu-lagunya (KJ, PKJ, dan NKB) tidak lagi
diminati sama sekali oleh generasi muda! Kalau boleh saya katakan, pak,
generasi muda saat ini telah mewarisi cara dan/atau kebiasaan yang salah
terhadap penerapan lagu-lagu tersebut! Tidak bisa dipungkiri jika lagu-lagunya
sudah dibawakan dengan cara yang salah sejak turun-temurun; mengabaikan
aturan-aturan standard (nilai, harga dan karakter notasi, tempo, dinamika dan
perasaan) dalam bernyanyi dan bermusik! Sehingga
generasi yang hidup di tengah perkembangan musik modern tentu pindah ke lain
hati. Mereka akan bertanya-tanya, kenapa lagu-lagu yang dinyanyikan di Gereja
(GMIT) terdengar aneh dan tidak beraturan! Sedangkan musik modern mempunyai
keteraturan jelas, tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar bermusik / bernyanyi,
dan sesuai dengan kondisi zaman saat ini!” Jelas Organis.
“Betul
sekali!” Pendeta membenarkan. “Padahal kalau mau dilihat, lagu-lagunya merupakan
suatu kekayaan rohani Gereja di seluruh dunia, sarat dengan nilai-nilai Iman
Kristiani, mengandung spiritualitas yang dalam dan bermanfaat, dan
memperlihatkan pergumulan rohani Gereja-gereja. Lagu-lagunya pun adalah
lagu-lagu yang sudah popular di Gereja-gereja baik di daerah-daerah di
Indonesia maupun di dunia. Saya rasa lagu-lagunya memiliki warna tersendiri yang tidak dimiliki oleh lagu-lagu kontemporer. Tapi
bagaimana kita bisa meyakinkan Jemaat (generasi muda) untuk kembali mencintai
lagu-lagu tersebut? Mungkin perlu ada penjelasan khusus dari segi musikalitasnya, atau dari sudut pandang
lain? Soalnya kita harus mulai berbenah dari sekarang!” Lanjutnya serius.
“Betul, pak Pendeta!
Ada 4 (empat)
hal yang perlu diperhatikan: Pertama, dari segi musikalitasnya, sebenarnya lagu-lagu
yang dipakai oleh GMIT sangat berkualitas! Terlihat jelas dari arransemennya, jika
dimainkan dengan baik akan terasa sangat indah,
menghadirkan unsur-unsur harmoni musik
klasik yang sangat kental, dan penuh dengan nuansa-nuansa kudus dan hikmat! Berdasarkan
pengalaman, lagu-lagu tersebut dimainkan secara tidak benar (asal-asalan),
sehingga tidak memberi kesan positif bagi yang mendengarnya! Kedua,
ada kecenderungan lagu-lagu tersebut dimainkan dengan arransemen yang
dipaksakan sama dengan lagu-lagu modern, sehingga tentunya lagu-lagu tersebut
menjadi lagu-lagu yang sangat ‘biasa-biasa
saja’; tidak memiliki kelebihan atau kualitas yang diharapkan! Apalagi
dimainkan oleh Organis yang memiliki skill
dan kompetensi yang minim! Padahal
menurut hemat saya, lagu-lagu tersebut memiliki genre (jenis atau aliran musik klasik) tersendiri yang tidak
dimiliki oleh lagu-lagu modern pada umumnya! Ketiga, khususnya di dalam Kidung Jemaat,
lagu-lagunya diseleksi dari berbagai sumber oleh tim khusus yang tergabung di
dalam YAMUGER: Yayasan Musik Gerejawi di Indonesia! Tim penyusun arransemennya
pun terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi musik luar biasa! Itu
bisa dilihat dari hasil arransemen yang disusun di dalam Buku Kidung Jemaat
Edisi Harmoni (Notasi Balok) dan Kidung Jemaat Edisi Akord (Notasi Angka)! Dan Keempat, khusus di dalam KJ, kita bisa melihat
himpunan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia hasil karya anak-anak
Tuhan yang berkualitas, bahkan dari
berbagai negara dengan pencipta-pencipta terkenal dari abad pertengahan! Sebut
saja nama-nama seperti Ludwig van Beethoven (KJ. 3), Wolfgang Dachstein (KJ.
24b), Johann Sebastian Bach (KJ. 115), dan lain-lain! Apakah patut bila kita
menganggap rendah karya-karya mereka??? Apakah patut bila kita menilai
lagu-lagu mereka tidak indah??? Tidak berkualitas??? Mereka adalah Komponis-komponis
hebat abad pertengahan dengan karya-karya spektakuler, yang belum tergantikan
oleh siapapun di muka bumi ini hingga dengan saat ini! Bagi mereka yang pernah belajar
musik klasik, tentu nama-nama di atas tidak asing lagi, karena belajar musik
klasik identik dengan mempelajari dan/atau memainkan karya-karya mereka yang
tidak pernah mati ditelan waktu!” Terang Organis berapi-api.
“Luar biasa!”
Ucap Pendeta bersemangat. “Kalau saja informasi ini sampai ke semua Warga Gereja,
khususnya sampai pada mereka yang terlanjur menganggap remeh tentang kualitas
lagu-lagu pengiring kebaktian kita, pasti akan berubah pikiran! Dan untuk
mencapai kualitas permainan/performa dimaksud, tentunya dituntut kerja keras
juga dari Organis Gereja dan Pemimpin Pujian yang bertugas! Perlu suatu
pelatihan dan persiapan khusus demi tujuan tersebut!” Cetus Pendeta penuh
harap.
“Betul sekali,
pak! Kita harus bisa menghapus semua anggapan negatif, dan menunjukkan kualitas
puji-pujian terbaik demi kemualiaan ALLAH! Gereja harus memberi pelatihan dan
persiapan khusus bagi mereka!” Ujar Organis pasti.
“Mungkin ada
informasi dan tips untuk para Organis Gereja dan Pemimpin Pujian?” Tanya Pendeta.
“Iya, pak! Khusus
untuk para Organis Gereja: YAMUGER telah menerbitkan Buku Kidung Jemaat Edisi
Harmoni (Notasi Balok) dan Kidung Jemaat Edisi Akord (Notasi Angka). Khusus KJ Edisi Akord, di dalamnya telah diarransemen
lagu-lagu secara keseluruhan dengan mencantumkan akord di setiap lagunya! Untuk
kebanyakan orang Indonesia
(khususnya Organis, pen), Edisi Akord lebih cocok karena sebagian besar
pemain musik otodidak lebih memahami petunjuk notasi angka dan akord! Buku tersebut
dapat dibeli di toko-toko buku rohani! Dengan mempelajarinya, seorang Organis akan
memperoleh ‘rasa baru’ terhadap
lagu-lagu yang ada, dimana lagu-lagunya terasa sangat indah, hikmat dan kudus, bahkan terlihat jelas kualitas
musik yang sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh musik/lagu kontemporer.
Dari buku tersebut juga, seorang Organis dapat terus belajar meningkatkan dan memperkaya skill dan kompetensi permainan, dengan demikian bisa menjadi modal dasar baginya
untuk dengan sendirinya mampu mengaransemen lagu-lagu Gerejawi lainnya (seperti
PKJ dan NKB yang belum ada arransemennya) dengan baik dan benar! Untuk Pemimpin Pujian: Melakukan latihan secara
intensif dengan tetap memperhatikan tanda baca/symbol, unsur-unsur lain yang
menentukan nilai, harga dan karakter notasi, dinamika, perasaan, tempo dan ketukan
yang tepat! Dengan demikian maka diharapkan puji-pujian pengiring liturgy
mempunyai ‘jiwa’, dan dapat memberi semangat bagi warga Gereja (warga GMIT)
dalam memuji dan memuliakan ALLAH, di samping turut menjaga dan memelihara
kekhusukan dalam beribadah!” Saran Organis.







0 comments:
Posting Komentar