Minggu, 29 November 2009

JEMAAT DAN PUJI-PUJIAN JEMAAT

(HIMBAUAN DARI MIMBAR KECIL)

            Pujian/Nyanyian Jemaat atau Nyanyian Jemaat atau dengan kata lain Kidung Jemaat adalah nyanyian/lagu yang mencerminkan nilai-nilai iman Kristiani, mengandung spiritualitas yang dalam dan bermanfaat bagi pertumbuhan rohani, serta memperlihatkan pergumulan rohani gereja-gereja di seluruh dunia. Kehadiran Pujian/Nyanyian Jemaat merupakan sebuah kekayaan rohani gereja yang perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dipergunakan sebesar-besarnya hanya demi kemuliaan ALLAH semata.  Ditinjau dari makna dan esensinya, Pujian/Nyanyian Jemaat adalah sebuah ungkapan iman jemaat dan/atau gereja akan kebesaran dan kemuliaan ALLAH, SANG PENCIPTA langit dan bumi beserta segala isinya, akan kasih karunia ALLAH di dalam YESUS KRISTUS sebagai TUHAN dan JURUSELAMAT, dan akan penyertaan ALLAH di dalam ROH KUDUS di dalam kehidupan beriman kita sehari-hari.
Sebagai ungkapan iman, maka semua individu yang terlibat di dalam proses peribadatan/kebaktian selayaknya wajib berperan aktif melaksanakan Pujian/Nyanyian Jemaat, bukan hanya pemimpin pujian dengan diiringi oleh organis/pianis seorang diri atau hanya majelis/penatua/diaken atau pendeta seorang diri. Pujian/Nyanyian Jemaat adalah sebuah ungkapan iman, respon dari dan oleh jemaat untuk ALLAH. Semua yang terlibat, tanpa kecuali, wajib (sekali lagi: WAJIB) melakukan Pujian/Nyanyian Jemaat hanya untuk kebesaran dan kemuliaan ALLAH. Semua harus menjadi subyek pelaku (kalaupun disebut obyek adalah obyek pelaku) di dalam puji-pujian.
Dewasa ini, pada setiap peribadatan/kebaktian, tidak dapat disangkal, selalu ada ketimpangan di dalam diri jemaat dalam hal melakukan Pujian/Nyanyian Jemaat. Jemaat tanpa Pujian/Nyanyian Jemaat hampir (atau: sudah?) menjadi hal yang wajar dalam setiap proses peribadatan/kebaktian kita. Jemaat sering kali hanya bisa tertolong/terselamatkan oleh pemimpin pujian dan/atau pendeta yang mampu/berusaha menyelesaikan Pujian/Nyanyian Jemaat dengan ‘selamat’. Itu pun bukan berarti bahwa jemaat melakukan hal yang sama dengan pemimpin pujian atau pendeta. Kolaborasi antara pemimpin pujian dan pendeta menjadi satu-satunya pasangan duet abadi pada setiap kebaktian. Jemaat sering kali diam dan tidak berbuat apa-apa (pasif), seolah-olah jemaatlah yang layak menerima puji-pujian itu?! “Siapakah kita (baca: jemaat), sehingga patut mendapatkan puji-pujian tersebut?” “Hanya ALLAH, hanya ALLAH, dan hanya ALLAH satu-satunya yang berhak atas puji-pujian tersebut!”
Hal ini seharusnya menjadi sebuah permasalahan serius yang perlu dibenahi oleh semua pihak dalam institusi GMIT (gereja maupun jemaat itu sendiri). Semua pihak perlu bercermin dan menata diri untuk bisa mencari tahu kelemahan-kelemahan yang menyebabkan GMIT tertinggal jauh dalam hal Pujian/Nyanyian Jemaat dengan gereja-gereja dari denominasi lain, sehingga perlu dipikirkan sebuah terobosan baru sebagai jalan keluar untuk masalah ini.
Ada dua hal penting yang perlu dicermati dan menjadi perhatian kita semua. Hal-hal tersebut berkenaan dengan anggapan-anggapan di sebagian kalangan jemaat/anggota jemaat tertentu yang sudah berkembang menjadi pola pikir dan/atau pemahaman yang diduga dan/atau bisa dipastikan menjadi faktor penyebab Pujian/Nyanyian Jemaat diabaikan oleh jemaat itu sendiri.
Pertama; Jemaat merasa bahwa yang penting dari sebuah peribadatan/kebaktian adalah membaca dan mendengar Firman Tuhan serta menyimak khotbah pendeta saja. Anggapan seperti ini menyebabkan jemaat tidak perlu merasa terbebani (tidak wajib) untuk mempelajari Pujian/Nyanyian Jemaat. Tujuan jemaat ke gereja hanya untuk mendengar Firman Tuhan dan khotbah pendeta, bukan untuk melakukan puji-pujian sebagai ungkapan/respon jemaat; menyambut/menanggapi kasih dan kemurahan ALLAH serta memuji dan memuliakan ALLAH. Jemaat beranggapan bahwa puji-pujian adalah tugas pemimpin pujian dan/atau mungkin saja tugas pendeta yang memimpin. Pola pikir/pemahaman seperti ini, tidak dapat dipungkiri, juga berimbas pada partisipasi jemaat dalam mengikuti tahapan/urutan proses peribadatan/kebaktian utama (Kebaktian Minggu). Ada tahapan-tahapan tertentu yang dianggap penting dan tidak penting. Ada Jemaat dengan tanpa rasa risih memasuki ruang kebaktian sesaat sebelum atau tepat pada saat Pembacaan Firman, dan mulai berbondong-bondong keluar dari ruangan kebaktian/pulang pada saat Do’a Syafaat sedang berlangsung. Ini suatu gambaran seolah-olah hanya Pemberitaan Firman Tuhan, Khotbah, Pengakuan Iman dan Persembahan Jemaat yang penting. Jemaat tidak merasa penting tahapan proses seperti Persiapan, Votum, Salam, Introitus, Pengakuan Dosa, Pemberitaan Anugerah ALLAH, Puji-Pujian, Pembacaan Mazmur, Do’a Syafaat, Nyanyian Jemaat, Berkat, Saat Teduh dan Suara Gembala di dalam satu peribadatan/kebaktian. Sungguh memprihatinkan!!!
Kedua; Ada anggapan bahwa yang berhubungan dengan puji-pujian adalah milik gereja-gereja dari denominasi lain bukan GMIT. Vonis seperti ini (entah ciptaan siapa?) sepertinya sudah ‘mendarah-daging’ di dalam sebagian kalangan warga gereja/jemaat kita secara turun-temurun atau boleh jadi sudah menjadi ‘dasar iman’ jemaat?? Hanya TUHAN yang tahu! Bahkan ada pula anggapan dari sebagian kalangan GMIT sendiri bahwa cara melakukan puji-pujian kita (GMIT) harus berbeda dari denominasi lain. Kita sepertinya ‘elergi’ dengan cara-cara yang dilakukan oleh denominasi lain walaupun yang dilakukan itu baik adanya, hanya untuk sekedar ‘beda’. Akhirnya, karena denominasi lain melakukan puji-pujian mereka dengan penuh semangat dan antusias, maka GMIT melakukan sebaliknya. Muncul pertanyaan: “Apakah kalau yang lain sudah melakukan hal/cara yang baik, maka kita harus melakukan hal/cara yang buruk hanya untuk sekedar ‘berbeda’?” Hal ini sudah tentu berpengaruh sangat besar terhadap minimnya penguasaan Pujian/Nyanyian Jemaat oleh jemaat itu sendiri dan rendahnya antusias jemaat untuk mempelajarinya. Sering ada keluhan dari jemaat, kalau puji-pujian yang dipersiapkan untuk satu kebaktian kadang terlalu sulit/asing untuk dinyanyikan atau belum diketahui secara luas/umum, karena jemaat hanya ‘berputar-putar’ pada puji-pujian yang menurut mereka mudah dan umum, atau jemaat (generasi) sekarang hanya mewarisi Pujian/Nyanyian Jemaat generasi sebelumnya, padahal Pujian/Nyanyian Jemaat terus dan terus berkembang dan/atau berubah dari waktu ke waktu, bahkan ada pula puji-pujian tambahan dan pelengkap lainnya (PKJ dan NKB) yang dipakai di dalam kebaktian kita. Ada pula keluhan jemaat yang menganggap puji-pujian kita tidak bersemangat (loyo), tidak wajar (aneh bin ajaib), dan lebih dari itu, tidak menarik untuk dipelajari dan dinyanyikan.
Inilah kondisi/kenyataan yang ada di dalam jemaat dalam kaitannya dengan melakukan Pujian/Nyanyian Jemaat. Semoga ini menjadi masukan berharga untuk kita semua sebagai bahan pertimbangan untuk menata, mencari dan menemukan jalan keluar terbaik untuk membenahi kondisi ini. Ada kendala serius yang harus menjadi perhatian semua pihak; adanya pola pikir dan pemahaman jemaat yang ‘salah’ yang sudah melekat/mentradisi secara turun-temurun, penguasaan puji-pujian yang ‘statis’ yang tidak berkembang sesuai dengan perkembangan Pujian/Nyanyian Jemaat di dalam gereja dan/atau jemaat, dan ketidaktertarikan jemaat untuk mempelajari dan menyanyikan puji-pujian yang dipakai oleh gereja (GMIT).  
Untuk meluruskan pola pikir dan anggapan jemaat di atas, diharapkan GMIT pro-aktif memberikan penjelasan-penjelasan kepada dan terus mengingatkan jemaat akan dasar pemahaman Teologis-Alkitabiah yang dianut oleh GMIT tentang latar belakang, makna, maksud dan tujuan dari setiap peribadatan/kebaktian khususnya Kebaktian Minggu, termasuk di dalamnya makna, fungsi dan peranan Pujian/Nyanyian Jemaat, maupun fungsi dan peranan dari semua orang yang berpartisipasi dalam sebuah peribadatan/kebaktian. Dewasa ini, jemaat belum memiliki pemahaman yang jelas dan pasti tentang hakekat dari sebuah kebaktian. Kalaupun ada, pemahaman tersebut atas inisiatif jemaat sendiri yang ‘dipungut dari sembarang tempat’ (baca: sumber-sumber) yang belum tentu memiliki dasar teologis-alkitabiah yang baik dan benar sesuai dengan apa yang dianut oleh GMIT.
Pemahaman dimaksud perlu dan harus terus disosialisasikan kepada warga gereja/jemaat sedini mungkin mulai dari sekarang; baik dalam Khotbah, Katekismus, maupun Sekolah Minggu. Bahkan perlu dipikirkan lebih jauh sebuah Metode Pembelajaran Liturgi yang sistematis dan dijadikan sebagai Kurikulum untuk diajarkan kepada jemaat. Pendidikan Liturgi juga perlu dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran pokok di dalam setiap katekisasi pra sidi maupun pra nikah sebagai sebuah bentuk pembekalan kepada jemaat. Pendidikan Liturgi, dalam kaitannya dengan Pujian/Nyanyian Jemaat/liturgi, kiranya dapat memberi pencerahan tentang makna, fungsi dan peranan Pujian/Nyanyian Jemaat/liturgi, dan fungsi dan peranan jemaat yang seharusnya dalam sebuah peribadatan/kebaktian. Dengan demikian, diharapkan setiap kita (baca: jemaat) yang terlibat dalam sebuah proses peribadatan/kebaktian khususnya Kebaktian Minggu dapat memahaminya dengan jelas, sehingga sebagai jemaat, kita juga dapat menjalankan fungsi dan peranannya dengan baik di dalam rumah ALLAH. Semoga TUHAN menolong kita!

0 comments:

Posting Komentar