(MONOLOG DARI KINTAL GEREJA)
Saya pernah ditanya oleh seorang teman non Kristen dengan pertanyaan yang sebenarnya sederhana dan gampang tapi sangat sulit untuk dijawab, dan pertanyaan tersebut sekaligus merupakan sebuah ‘tamparan’ keras bagi kita sebagai orang Kristen. Dibilang ‘gampang’ karena memang pertanyaannya tidak sulit; tidak perlu ‘hitung-kali-bagi’ menggunakan rumus-rumus tertentu untuk menjawabnya. Namun dibilang ‘sulit’ karena jawaban dari pertanyaan tersebut akan sangat berpengaruh pada ‘citra kekristenan’ kita. Pertanyaan tersebut sebagai berikut:
“Semua orang Kristen pada pintar-pintar nyanyi, ya?” Saya persilahkan semua orang Kristen di seantero GMIT untuk menjawabnya.
Walaupun sudah dijawab bahwa tidak semua orang Kristen pandai bernyanyi, teman saya ini tidak percaya begitu saja, malah dipikirnya saya sedang memberikan jawaban yang sifatnya ‘merendah di atas bukit’. “Ha…ha…ta telek!”
“Aah..., tidak percaya!” bantahnya. “Soalnya yang saya tau, pada setiap upacara/sembahyang (baca: kebaktian) di gereja pasti ada ‘nyanyi’nya! Mana mungkin orang Kristen tidak bisa bernyanyi?! Bernyanyi kan ‘wajib’ bagi orang Kristen?! Saya ingin sekali belajar bernyanyi dari orang Kristen!” lanjutnya berharap.
Saya hanya diam seribu bahasa sambil terus mendengar apa yang dikatakannya. Dengan polosnya ia terus memuji dan memuji sambil memberikan contoh penyanyi-penyanyi idolanya yang berlatar belakang Kristen.
Demikianlah pandangan orang-orang luar (baca: non Kristen) tentang orang Kristen dan ‘bernyanyi’. Pandangan sekaligus kesimpulan tersebut diambil karena mereka mengetahui, mendengar dan/atau menyaksikan sendiri kenyataan bahwa di setiap proses kebaktian orang Kristen pasti selalu terdapat puji-pujian (baca: aktifitas bernyanyi). Bahkan ada juga yang sempat mengungkapkan dengan penuh rasa heran:
“Dalam upacara atau kebaktian kedukaan dan pemakaman pun orang Kristen ‘bernyanyi’!”
Lantas bagaimana tanggapan kita sebagai orang ‘yang betul-betul’ Kristen, khususnya warga GMIT, terhadap apa yang telah menjadi kesimpulan di atas? Bagaimana pula jika kita jujur menilai diri kita sendiri akan kemampuan ‘bernyanyi’ kita? Pedulikah kita akan hal ‘bernyanyi’? Bisakah kita ‘bernyanyi’ sama seperti anggapan ‘orang-orang luar’ tersebut? Anggaplah kalau kita bisa ‘bernyanyi’, apakah kita sudah melakukannya dengan baik dan benar? Apakah cara ‘bernyanyi’ kita sudah lebih baik dari orang lain yang bukan Kristen? Atau sebaliknya?
“Wahai…, warga GMIT-ku, apakah jawabmu…?”
Tidak salah memang anggapan atau kesimpulan seperti itu muncul dari kalangan non Kristen karena jika ditelusuri lebih jauh, ‘bernyanyi’ pada kenyataannya adalah sebuah kegiatan wajib bagi orang Kristen tanpa kecuali, atau oleh kalangan non Kristen dianggap sebagai sebuah ‘perintah agama’ dalam hal ini perintah agama Kristen yang harus dijalankan oleh orang Kristen sendiri. Kalau kita mau jujur, orang Kristen (baca: warga GMIT) sendiri sebenarnya belum atau mungkin tidak mau menyadari dan mengakui bahwa ‘bernyanyi’ sesungguhnya adalah salah satu ‘perintah agama’. ‘Bernyanyi’ adalah faktor ke-sekian yang tidak perlu mendapat perhatian, karena masih ada faktor-faktor lain yang dinilai lebih/sangat penting (diprioritaskan)? Atau ‘bernyanyi’ (mungkin) dianggap oleh sebagian kalangan sebagai ‘hura-hura’?
Jika demikian, coba kita membuka dan melihat buku Himpunan Liturgi Kebaktian kita. Bukankah ‘bernyanyi’, sebagai ungkapan puji-pujian kepada ALLAH, adalah kegiatan yang wajib dan harus dilakukan di dalam setiap kebaktian kita? Bukankah puji-pujian mendominasi di dalam liturgi kebaktian kita? Jika saja pola pikir/anggapan kita (orang Kristen khususnya warga GMIT) baik dari pemimpin agama sampai jemaat masih sama seperti yang dikemukakan di atas, maka Sinode GMIT sebaiknya mulai mempertimbangkan untuk ‘merubah liturgi kebaktian’ nya dengan ‘mengurangi dan/atau menghilangkan puji-pujian jemaat’ yang selama ini mendominasi di dalam setiap proses kebaktian kita.
“Maaf, kalo kurang berkenan…! Soalnya pola pikir sebagian besar jemaat/warga gereja sudah seperti itu!”
Namun jika GMIT ingin tetap mempertahankan ‘bernyanyi’ sebagai ungkapan pujian jemaat kepada ALLAH dan/atau respon jemaat terhadap kemuliaan dan kehadiran ALLAH, maka GMIT pun harus melakukan upaya-upaya serius dan sistematis untuk menjelaskannya kepada warganya. GMIT harus peka dengan kondisi jemaat yang pada kenyataannya belum atau tidak memahami sama sekali tentang makna, hakekat dan tujuan beribadat kepada ALLAH di dalam setiap kebaktian kita. Ini jelas sekali terlihat dari tingkat penguasaan jemaat terhadap puji-pujian yang sangat minim, dan bahkan mungkin sekali jemaat ‘acuh tak acuh’ dan ‘masa bodoh’ terhadap puji-pujian (baca: bernyanyi). Jemaat yang nota bene sebagai ‘domba’ dibiarkan ‘berkeliaran’ mencari ‘rumput dan air’ pemahaman teologis sendiri-sendiri tentang makna, hakekat dan tujuan dari setiap peribadatan/kebaktian, sehingga ‘domba-domba’ yang bernaung di dalam satu ‘kandang GMIT’ memiliki pemahaman yang berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya.
“Kok bisa…?”
Sebagai orang Kristen, sekiranya sanjungan yang dilontarkan oleh teman saya itu jangan membuat kita puas dan bangga atau bahkan sombong, karena sangat bertolak belakang dengan kenyataan sesungguhnya. Bagi saya, sanjungan di atas adalah bukan hanya sekedar sebuah ‘tampika-tampiki’ (tampar pipi kanan-tampar pipi kiri, pen), melainkan juga sebuah ‘pukulan lucky blow’ (istilah dalam dunia tinju untuk pukulan liar yang mematikan, pen) yang menghantam ‘rahang’ setiap orang Kristen (warga GMIT, pen). Disebut sebagai ‘tamparan dan/atau pukulan’, karena di dalam kenyataan, sebenarnya kesimpulan/anggapan tersebut hanyalah ‘indah kabar dari pada rupa’. Orang Kristen (GMIT) sama sekali, “Maaf…e!” hampir belum/tidak memperlihatkan sedikitpun gejala-gejala positif ke arah ‘bisa bernyanyi’ apalagi ‘pandai bernyanyi’.
“Mau bukti…?”
Saya mempersilahkan kita semua untuk melihat dan menyimak kondisi puji-pujian kita di setiap kebaktian kita di setiap gereja di dalam lingkup GMIT. Sebagian besar gereja yang pernah saya kunjungi menunjukkan fenomena puji-pujian yang sangat memprihatinkan; baik dari pemain musik, pemimpin pujian, pendeta, majelis dan lebih-lebih jemaat. Padahal lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu ‘abadi’ yang sudah dipergunakan sejak ‘kekal hingga kekal’. Namun tingkat penguasaannya yang ditunjukkan di saat bernyanyi sangat rendah bahkan, “sekali lagi, maaf…e!” ‘nol kaboak’ (nol besar, pen). Tingkat penguasaan yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya dengan menghafal perkataan dari lagu-lagu yang dinyanyikan, namun lebih dari itu, menguasai ragam lagu secara baik, benar dan bertanggung jawab yang di dalamnya tertera petunjuk-petunjuk atau simbol-simbol notasi sebagai elemen dasar yang membangun sebuah komposisi/lagu, dan belum lagi yang berhubungan dengan penghayatan dan ekspresi. Terhadap kondisi ini, kelihatan sekali bahwa kita sudah ‘puaaass dan banggaaa’ dan tetap ‘betaaahhh’ berlama-lama di dalam ‘keterpurukan’ ini.
“Betapa anehnya warga GMIT-ku! Salah kok dipiara!!”
Di sisi lain, kebanyakan kita tidak mau menerima kenyataan kalau keadaan kita dalam hal ‘bernyanyi’ memang seperti yang disebutkan di atas. Kita dengan sangat ‘pe-de’ (percaya diri, pen) nya mengaku kalau kita lah yang paling mampu dalam hal ‘bernyanyi’. Sampai ada yang berani mengaku kalau sebagian besar atau semua lagu di dalam himpunan Kidung Jemaat (bahkan Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru) 100% dikuasainya atau bisa dinyanyikannya.
“Lagu Kidung Jemaat…? Hah…gampuuaanng…! Lagu lamuaa…! Sebut saja lagu nomor berapa dan saya langsung bisa menyanyikannya!” demikian ungkapan-ungkapan yang sering keluar dari mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab.
“Hhuuhh…. kek jago-jago sa…!”
Bagaimana kita bisa menyebutnya sebagai ‘bertanggung jawab’, kalau lagu-lagu yang dibilang ‘gampang’ dan ‘lama’ itu dinyanyikan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur seni dan teknis ‘bernyanyi’ yang baik dan benar. Bagaimana kita bisa menyebutnya sebagai ‘bertanggung jawab’, kalau kita selalu mengabaikan petunjuk/simbol notasi (tempo, birama, dan simbol-simbol teknis lain) dari lagu-lagu yang dibilang ‘gampang’ dan ‘lama’ tersebut?
“Mulut sonde jaga badan…!”
Ternyata ungkapan seperti ‘gampang’ dan ‘lagu lama’ bagi kita adalah hanya sebatas sudah sering mendengar dan/atau mungkin sudah bisa menghafal perkataan dari lagu-lagu dimaksud. Ungkapan ‘gampang’ dan ‘lagu lama’ muncul hanya karena lagu-lagunya memang sudah dipakai ‘turun-temurun’ sejak dahulu hingga sekarang, sehingga kita cenderung menganggap ‘remeh’ lagu-lagu tersebut. Ungkapan ‘gampang’ dan ‘lagu lama’ ternyata adalah wujud dari sikap dan perilaku kita yang suka ‘menggampangkan’ lagu-lagu yang sebenarnya ‘tidak gampang’ untuk dinyanyikan tanpa disertai upaya dan penerapan ‘bernyanyi’ yang baik dan benar sesuai dengan aturan dan prinsip dasar dari seni bernyanyi dan bermusik yang sesungguhnya. Ungkapan ‘gampang’ dan ‘lagu lama’ bagi kita ternyata tidak berarti mengetahui dan menguasai secara baik dan benar semua petunjuk dan simbol notasi, dan menyanyikannya sesuai dengan aturannya (ragam lagu, pen). Lagi-lagi ungkapan ‘gampang’ dan ‘lagu lama’ sedikit pun tidak menunjukkan suatu aktifitas ‘bernyanyi’ yang sungguh-sungguh sehingga bisa menghadirkan suatu penghayatan dan ekspresi yang memadai.
“Hah…, aneh juga, ya…? Begitu kok bilang gampang..!”
Masih berkenaan dengan sanjungan yang dikemukakan oleh teman saya di atas, seharusnya kita malu, kembali ‘bercermin’, dan secepat mungkin mulai ‘berbenah diri’. Sanjungan tersebut sedianya dijadikan sebagai ‘cambuk’ untuk memacu semangat kita mengejar ketertinggalan kita di dalam hal puji-pujian dan/atau ‘bernyanyi’. Kita harus mampu menjawab kesimpulan orang-orang di luar sana bahwa ‘orang Kristen bisa dan pandai bernyanyi’. Kita harus bisa membuktikan diri kita bahwa kemampuan kita dalam hal ‘bernyanyi’ harus melebihi orang-orang di luar Kristen yang nota bene ‘bernyanyi’ bukanlah ‘perintah agama’ mereka.
“Caranya…?”
Pertama; Merubah pola pikir kita; bahwa ‘bernyanyi’ adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang Kristen (baca: warga GMIT) sebagai wujud ungkapan dan puji-pujian kepada ALLAH. Melihat bahwa puji-pujian mendominasi di dalam liturgi kebaktian kita, maka sepatutnya ‘bernyanyi’ diterima/diakui sebagai salah satu ‘perintah agama’ yang harus dijalankan oleh umat Kristen sendiri. Sebuah perintah yang pada kenyataannya harus/wajib/mutlak dilakukan pada saat/setiap kesempatan beribadah kepada ALLAH.
“Aktifitas apakah yang membedakan kita sebagai orang Kristen dengan orang lain di luar Kristen dalam hal melakukan upacara keagamaan atau sembahyang atau kebaktian?”
Ada kelompok agama tertentu yang ‘diperintahkan’/diwajibkan oleh agamanya untuk melakukan ritual dengan cara tertentu dalam setiap peribadatan mereka; ‘menari’, ‘bersyair’, dan lain sebagainya. Untuk kita (orang Kristen atau warga GMIT), cara tertentu yang dimaksud di sini tidak lain dan tidak bukan adalah ‘bernyanyi’ atau biasa disebut ‘melakukan puji-pujian’ atau ‘memuji TUHAN’.
Sebenarnya pola pikir seperti ini harus ditumbuh-kembangkan di dalam alam pikir setiap orang Kristen. Jika tidak, maka faktor ini pula yang akan menjadi penghambat utama bagi kita orang Kristen (warga GMIT, pen) tidak bisa ’bernyanyi’.
“Kaarrrnnaa…?”
Karena ‘bernyanyi’ bukanlah sebuah faktor yang penting, sehingga kita tidak perlu merasa terbebani untuk mempelajari dan menguasainya. Malah di sebagian besar kalangan generasi muda, jangankan diajak untuk latihan ‘bernyanyi’, ketika berbicara saja tentang lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, serta-merta mereka mengatakan:
“Cape….deeehh!”
Lantas jika orang Kristen tidak bisa ‘bernyanyi’, bukankah kita adalah ‘pembangkang-pembangkang’ ulung yang melawan sistem peribadatan kita dan sekaligus menentang FIRMAN TUHAN? Dengan cara apakah kita melakukan puji-pujian kepada ALLAH yang memang layak mendapat puji-pujian tersebut? Dengan cara apakah kita, manusia berdosa ini, mengucap syukur dan berterima kasih kepada ALLAH? Dengan cara apa pula kita menanggapi dan merespon kehadiran dan/atau kemuliaan ALLAH? Dan bukankah ALLAH bertahta di atas puji-pujian?
“Warga GMIT-ku, tolong ko pikir-pikir… dan lebe bae sadar su…!”
Kedua; Menyadari ketidakmampuan kita dalam hal ‘bernyanyi’; bahwa sejak sekian lama kita sebenarnya tidak bisa ‘bernyanyi’ dengan baik dan benar.
“Minta maaf untuk yang merasa bisa bernyanyi…Kalau bisa, buktikan…!”
Sebenarnya maksud saya adalah: kita (warga GMIT, pen) telah mengesampingkan aturan-aturan ‘bernyanyi’ yang sebenarnya dengan mengabaikan petunjuk dan simbol notasi yang nota bene adalah ‘urat nadi’ dari sebuah puji-pujian (baca: lagu); menerapkan tempo nyanyian yang tidak tepat, dan cenderung tidak mematuhi tanda birama (ketukan) dan nilai nada yang ada, serta mengabaikan hal-hal yang berhubungan penghayatan, ekspresi, dan unsur-unsur teknis lainnya. Dengan demikian, kita (warga GMIT, pen) telah merendahkan kualitas puji-pujian kita sendiri dibandingkan dengan puji-pujian dari denominasi lain, dan bahkan dengan lagu-lagu sekuler sekali pun.
Cara bernyanyi kita yang ‘salah’ sejak lama telah menjadi sebuah identitas yang melekat pada diri gereja/warga GMIT. Malah sudah menjadi ‘rahasia umum’, kalau dalam hal ‘bernyanyi’, GMIT identik dengan ‘hela-tarek’ (bernyanyi dengan tempo amat-sangat-terlalu lambat), ‘mati-angin’ (bernyanyi dengan loyo dan tidak bersemangat), ‘jato-mat’ (bernyanyi dengan tidak memperhatikan ketukan), dan ‘mati-gaya’ (bernyanyi dengan asal-asalan tanpa penghayatan dan ekspresi). Sebenarnya masih banyak lagi indentifikasi yang, menurut hemat saya, mencoreng wajah kita (GMIT, pen) dalam hal melakukan puji-pujian/’bernyanyi’. Kita harus peka, berusaha dan berjuang untuk memperbaiki diri dan secepatnya keluar dari kondisi ini serta melepaskan citra negatif yang dikenakan kepada kita selama ini. Kalau kita mau jujur, kita, dengan semena-mena dan tanpa rasa bersalah telah ‘membunuh jiwa dan spirit’ puji-pujian kita dari masa ke masa.
“Aduuhh, kasian…e…! Kapan baru katong sadar, nih…?”
Ketiga; Belajar, belajar dan belajar; bahwa kita sebenarnya belum bisa bernyanyi dengan baik dan benar sesuai dengan aturan bernyanyi dan ‘rambu-rambu’ notasi yang semestinya. Kecenderungan ‘menganggap remeh’ lagu-lagu yang dianggap ‘lama’ dan ‘gampang’ membuat kita tetap ‘terbelenggu’ dalam kebiasaan/tradisi bernyanyi yang ‘salah’ dari masa ke masa. Apalagi sistem pembelajarannya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan; sistem ‘ahli waris’ (‘waris-mewarisi’) yakni generasi sekarang ‘mewarisi’ dan/atau bahkan ‘kodo anteru’ (menerima/menelan ‘bulat-bulat’, pen) cara bernyanyi generasi sebelumnya, tanpa mempelajari lebih jauh salah-benarnya dan/atau membandingkan dengan petunjuk/simbol notasi yang sebenarnya dari sumber/referensi asli.
“Hat-hati…ceke leher…oo..!”
Ada sebuah pengalaman menarik yang pernah saya alami. Saya pernah mengiringi ‘pemimpin pujian’ yang nota bene juga anggota senior paduan suara (PS) dari sebuah PS terbaik gereja. Dari latar belakangnya tersebut, saya sama sekali tidak pantas untuk meragukan tingkat penguasaan notasinya.
“Namun apa yang terjadi, sodara-sodara…?”
Saat menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, sang pemimpin pujian bernyanyi ‘seenak perut’ nya tanpa menghiraukan tanda baca notasi yang tertera yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
“Loh, om.., tanta..,nyanyinya kok begicuuu…?”
Ya, sebuah gambaran yang sangat bertolak belakang antara menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dan lagu-lagu PS. Lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dibawakan tidak seindah lagu-lagu PS dalam arti tidak mengikuti petunjuk dan simbol notasi yang ada. Ternyata dari bincang-bincang, baru diketahui bahwa di saat menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, ‘sang penyanyi’ tidak lagi memperhatikan tanda baca notasi yang ada.
“Sekali lagi sodara-sodara, tradisi yang bicara!”
Sang ‘song leader’ bernyanyi sesuai dengan kebiasaan yang ia dengar secara ‘turun-temurun’. Ia juga mengakui bahwa kebanyakan lagu/puji-pujian liturgi dan Kidung Jemaat yang dinyanyikan tidak dipelajarinya lagi, karena kebanyakan lagu-lagunya telah diketahui pula sejak dahulu.
“Ooh…itu masalahnya…! Pantas…! Makanya belajar…!”
Sudah saatnya kita, orang Kristen (baca: warga GMIT), harus sadar dan bangkit untuk membenahi kondisi puji-pujian yang sungguh tertinggal sejak sekian lamanya. Sepertinya, ‘kesalahan atau gangguan’ bukan terjadi pada ‘mampu’ atau ‘tidak mampu’ nya kita, melainkan terjadi pada ‘otak’ (baca: pola pikir, pen) kita tentang puji-pujian dan ‘bernyanyi’. Pola pikir kita yang salah telah menghambat langkah kita selama ini untuk tertarik dan apalagi ‘jatuh cinta’ dengan puji-pujian dan bernyanyi. Pola pikir kita yang salah pula yang telah memberi andil kepada kita untuk tidak memperhatikan cara/praktek ‘bernyanyi’ yang baik dan benar. Padahal puji-pujian dan bernyanyi adalah salah satu faktor penting, wajib dan mutlak bagi orang Kristen dalam beribadat kepada ALLAH; sebagai wujud dari ungkapan pujian kita kepada ALLAH, respon dan tanggapan kita akan kehadiran dan kemuliaan ALLAH.
Di samping itu, puji-pujian dan ‘bernyanyi’ juga merupakan satu hal ‘unik’ yang membedakan kita (baca: orang Kristen) dengan orang-orang di luar Kristen dalam peribadatan. Dengan demikian, sebagai orang Kristen, kita seharusnya dengan penuh sukacita sadar, mau belajar dan terus meningkatkan kompetensi kita dalam hal ‘bernyanyi’: bukan sebuah ‘keharusan yang terpaksa’ dan/atau ‘keterpaksaan yang harus’. Kompetensi dimaksud adalah mampu/bisa ‘bernyanyi’ (menguasai perkataan dan ragam lagu, pen) setidak-tidaknya bisa mengikuti petunjuk dan/atau simbol notasi dengan baik dan benar dan bisa dipertanggungjawabkan dari segi seni musik dan/atau suara. Bahkan lebih dari itu, kita pun wajib/perlu mengasah dan melatih diri dalam hal penguasaan akan teknik dasar olah vokal yang memadai untuk menunjang aktifitas ‘bernyanyi’ kita, dan melakukannya dengan penuh kesungguhan dengan turut melibatkan unsur-unsur penghayatan dan ekspresi.
“Bukankah orang Kristen harus terus ‘bernyanyi’, ‘bernyanyi’, dan ‘bernyanyi’?”
“Ya, orang Kristen harus bisa ‘bernyanyi’! Orang Kristenpun harus pandai ‘bernyanyi’!”
Semoga TUHAN menolong kita!







0 comments:
Posting Komentar