“Mengoreksi
Praktek Puji-Pujian Jemaat” (Bagian
I) menyoroti praktek bernyanyi secara keseluruhan yang dilakukan oleh warga
gereja/jemaat dalam melakukan puji-pujian jemaat/liturgi pada saat kebaktian.
Sebuah praktek bernyanyi yang sungguh memprihatinkan yang selalu disuguhkan di
dalam setiap proses kebaktian di hampir seluruh gereja-gereja di bawah naungan
GMIT. Sebuah praktek puji-pujian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik
dari segi teori, praktek, etika maupun estetika berkesenian. Sebuah praktek
puji-pujian yang meninggalkan ‘sejuta’ tanda tanya baik dari kalangan gereja/warga
GMIT sendiri, maupun gereja/warga dari denominasi lain, dan bahkan dari
kalangan non Kristen. Sebuah praktek puji-pujian yang akhirnya memberi ‘citra
negatif’ bagi gereja/warga GMIT dari masa ke masa.
Bagaimana
tanggapan kita sebagai warga gereja/jemaat atau pemimpin umat terhadap praktek puji-pujian
jemaat/liturgi, yang digunakan di dalam liturgi kebaktian yang berlaku di
kalangan GMIT? Apakah kita menikmati dan/atau setidaknya rindu untuk
menyanyikan puji-pujian tersebut di dalam kebaktian kita sebagaimana layaknya
puji-pujian (baca: lagu-lagu) pada umumnya? Atau mungkin kita hanya ‘terpaksa’
harus bernyanyi karena sudah menjadi satu ‘keharusan’ walau terpaksa di dalam liturgi
kebaktian kita? Dan apakah kita semua tidak pernah merasa bahwa puji-pujian
yang kita nyanyikan di dalam
kebaktian kita sebenarnya tidak layak disebut sebagai bernyanyi?
Bila kita mau
jujur menilai praktek puji-pujian kita, maka akan didapati banyak sekali
kejanggalan dalam hal menyanyikan atau melagukan puji-pujian jemaat/liturgi.
Ini terjadi bukan karena puji-pujian atau lagu yang dipakai di dalam liturgi
kebaktian kita tidak indah atau tidak bagus atau tidak berkualitas seperti yang
dianggap oleh sebagian kalangan, tetapi karena cara kita menyanyikannya yang
tidak wajar, sekali lagi caranya yang tidak
wajar, dan tidak benar sesuai dengan prinsip dan aturan dasar bernyanyi
sebagaimana layaknya sebuah lagu/puji-pujian seharusnya dinyanyikan. Kita
(warga gereja/jemaat) cenderung mengabaikan petunjuk-petunjuk tanda baca notasi
yang sebenarnya adalah dasar/elemen penting yang membentuk sebuah ‘bangunan’
komposisi (lagu). Dasar-dasar dimaksud terdiri dari simbol-simbol notasi yang menentukan
birama, tempo, dinamika, perasaan, dan petunjuk teknis lainnya yang secara umum sering kita jumpai baik di
dalam komposisi/lagu dengan notasi balok maupun notasi angka.
Pertama,
BIRAMA; birama berhubungan dengan ketukan dari sebuah lagu dan nilai atau harga
dari sebuah not/nada. Ketukan dan nilai nada dari sebuah lagu biasa ditulis
dengan tanda birama: 4/4, 3/4, 2/2,
dan seterusnya. Pada notasi balok, penulisan tanda birama di atas memiliki
makna sebagai berikut: angka pembilang
menunjukkan jumlah ketukan, dan angka penyebut
menunjukkan nilai/harga not yang dipakai. Contoh: birama ¾; angka pembilang 3
menunjukkan lagu dengan jumlah tiga ketuk
pada tiap ruas birama, dan angka penyebut
menunjukkan penggunaan not seperempat
(1/4) pada tiap ketukannya. Di dalam notasi angka, penulisan tanda birama seperti
di atas biasanya hanya menunjuk pada jumlah ketukan di dalam tiap ruas birama, sehingga
biasanya ditulis: 4 ketuk, 3 ketuk, 2 ketuk, dan seterusnya (lihat: KJ, PKJ dan NKB). Di samping
menunjuk pada ketukan dan harga sebuah not/nada, tanda birama pun bisa dipakai
sebagai acuan melakukan tempo yang baik dan benar. Sebagai contoh; lagu dengan
tanda birama 2 ketuk atau 2/4 adalah lagu yang dikategorikan
sebagai lagu dengan irama mars atau lagu dengan Tempo di Marcia dan lagu 3 ketuk adalah lagu dengan irama waltz
atau lagu dengan Tempo di Valse, adalah lagu-lagu yang biasanya dimainkan
dengan tempo yang lebih cepat.
Kedua,
TEMPO; tempo berhubungan dengan cepat atau lambat, dan juga berhubungan dengan
irama dari sebuah lagu ketika dinyanyikan atau dimainkan. Di dalam lagu dengan
notasi angka, jarang terdapat petunjuk yang secara langsung menginstruksikan
untuk bernyanyi dengan tempo tertentu, walaupun ada pula yang menuliskan
petunjuk dimaksud dengan penulisan ‘lambat’,
‘cepat’, ‘sedang’, dan seterusnya. Berikut ini petunjuk-petunjuk yang
berhubungan dengan tempo (sering dijumpai di dalam lagu dengan notasi balok): Allegro (= cepat), Allegretto (= agak cepat), Moderato
(= sedang), Andantino (= agak
pelan/lambat), Andante (=
pelan/lambat), Allegro moderato (= cepat dan sedang), Comodo (= mudah/santai), Tempo
di Valse (= irama waltz), Tempo di Marcia (= irama mars), rit.
(ritardando = makin lambat/perlahan), a tempo (= kembali ke tempo semula)
dan Permata
([6]
= memperpanjang bunyi nada tanpa menghitung). Dalam lagu notasi angka, untuk
menentukan tempo sebuah lagu tidaklah mudah, tergantung kepada orang yang
menyanyikan dan/atau yang memainkannya. Tempo sebuah lagu disarankan jangan
dipaksakan terlalu cepat (tergesa-gesa) atau terlalu lambat (hela-tarek, pen),
tapi perlu disesuaikan dengan kenyamanan bernyanyi dan/atau bermain musik. Di
samping itu, kita juga perlu memperhatikan simbol-simbol tertentu yang bisa
dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tempo yang benar; simbol (‘): petunjuk pengambilan napas, dan
simbol/tanda birama. Walaupun simbol-simbol ini bukan termasuk dalam simbol/petunjuk
tempo, namun bisa juga dipakai sebagai rujukan untuk menentukan tempo sebuah
lagu. Di saat bernyanyi, napas baru boleh diambil tepat pada simbol (‘). Jika tempo yang dinyanyikan lambat
‘merayap’ (sangat lambat, pen), maka sudah dapat dipastikan kita bakal
kehabisan napas sebelum mencapainya. Dengan demikian, tempo perlu diatur
sedemikian rupa, sehingga pengambilan napas bisa terjadi tepat pada waktu dan
tempatnya. Begitu pula dengan simbol/tanda birama yang dapat dijadikan sebagai
referensi melakukan tempo (lihat penjelasan di atas!).
Ketiga,
DINAMIKA; berhubungan dengan keras-lembut sebuah lagu dinyanyikan/dimainkan.
Dinamika sangat menonjolkan permainan ekspresi dari si pelaku puji-pujian
dan/atau musik, demi memberi ‘spirit/jiwa’ pada sebuah lagu. Dalam sebuah
komposisi, para pencipta lagu biasanya mencantumkan simbol-simbol dinamika
dalam karya mereka seperti: f (forte/keras), mf
(mezzo forte/agak keras), mp (mezzo piano/agak lembut), p
(piano/lembut), cres. (crescendo = berangsur-angsur keras), decres.
(decrescendo = berangsur-angsur lembut), dim. (diminuendo = mengurangi
kerasnya nada), dan lain-lain.
Keempat,
Simbol-simbol yang berhubungan dengan perasaan dan simbol-simbol teknis
lainnya. Simbol-simbol perasaan juga memiliki keterkaitan dengan permainan
ekspresi namun lebih menonjolkan cara/teknik bernyanyi atau bermusik; slur/busur legato = bernyanyi/bermain dengan nada bersambung biasanya ditandai
dengan simbol busur yang menghubungkan not yang satu dengan yang lainnya, staccato = bernyanyi/bermain dengan nada
putus-putus biasa ditandai dengan simbol titik (.) di atas atau di bawah simbol not (notasi) balok, lamentoso = mengeluh, grazioso = lemah gemulai, dolce
= manis, dan lain-lain. Sedangkan simbol-simbol teknis lainnya adalah simbol-simbol
yang berhubungan dengan teknis penulisan notasi lagu. Nada dasar: pada notasi angka biasa ditulis sebagai berikut: do=c, do=g, dan seterusnya, atau
penulisan simbol # (kres/sharp) atau ♭ (mol/flat) pada garis para nada notasi
balok ( satu sharp: do=g, dua sharp: do=d atau satu flat: do=f, dua flat:
do=bes, dst). Fine: petunjuk akhir
lagu. Refrain: baris-baris atau
bagian lagu yang diulang. D.C. (da
capo): petunjuk kembali ke permulaan lagu. Coda:
buntut/ekor lagu. Tanda ulang (||: - - - -:||). Petunjuk pengambilan napas (| -
- - - ‘|). Petunjuk tentang
tinggi-rendah nada; pada notasi angka ditandai dengan simbol titik (.) yang ditempatkan tepat di atas atau
di bawah simbol not (notasi) angka, sedangkan pada notasi balok ditentukan
dengan letak not pada garis para nada.
Demikian
beberapa dasar/elemen penting yang membangun sebuah komposisi lagu (dan/atau
musik) yang sering diabaikan oleh kita (baca: warga gereja/jemaat plus pemain
musik) sehingga tanpa sadar kita sendiri ‘merusak’ puji-pujian kita. Apakah
kondisi ini pernah menjadi perhatian kita semua atau tidak?! Yang jelas, pada
kenyataannya puji-pujian yang tidak beraturan hampir menjadi ‘santapan wajib’
di dalam setiap kebaktian kita. Ketika puji-pujian dinyanyikan di dalam sebuah
kebaktian, tidak jelas apakah kita sedang ‘bernyanyi’ atau sedang ‘membaca’
atau sedang ‘dadafi’ (mengigau, pen)?! Dikatakan bernyanyi tapi tidak seperti
layaknya orang bernyanyi! Dikatakan membaca juga tidak seperti layaknya orang membaca!
Dikatakan ‘dadafi’ juga tentu tidak! Kenyataan ini sangat sulit untuk
digambarkan dengan kata-kata. Hal ini perlu dikembalikan kepada kita semua
untuk dicermati dan direnungkan, karena tentu kita semua memahami perbedaan
antara atau hakekat ‘bernyanyi’, ‘membaca’, dan ‘dadafi’ itu seperti apa?!
Kita juga
harus jujur mengakui bahwa selama ini puji-pujian liturgi/jemaat kita
dipelajari dengan cara dan/atau yang tidak terpadu dan sistematis. Kalau boleh
dikatakan, cara/sistem pembelajaran ‘dari mulut ke mulut’ layaknya ‘dongeng’
orang tua kepada anak-anak mereka sebelum tidur. Generasi sekarang/penerus
hanya menerima dan menelan bulat-bulat ‘produk’ (baca: tradisi/kebiasaan)
bernyanyi yang keluar dari mulut generasi pendahulunya tanpa mempertimbangkan
‘salah-benar’ nya. Dan sangat mungkin ‘produk’ generasi pendahulunya ‘salah’,
karena mereka juga mendapatkannya dengan cara yang sama dari generasi mereka
sebelumnya. Sebuah cara atau sistem pembelajaran yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dari segi aturan dan/atau prinsip dasar bernyanyi yang
baik dan benar, jadi wajar saja kalau pengetahuan dan penguasaan kita pun akan
puji-pujian dimaksud sangat minim bahkan tidak ada, atau kalaupun ada tidak
bisa dijamin kebenarannya.
Cara/sistem
pembelajaran ‘ahli waris’ di atas tentu membuat kita tidak bisa banyak berharap
akan cara dan teknik melakukan puji-pujian yang baik dan benar sesuai dengan
aturan dan prinsip dasar bermusik dan bernyanyi. Sebagaimana yang terjadi,
puji-pujian yang dinyanyikan pada setiap kebaktian utama (Minggu) ‘nyaris tak
terdengar’; tidak memiliki tempo, ketukan, dinamika, irama/ritme, melodi, dan
khusus untuk iringan musik tidak memiliki harmonisasi nada dan harmonisasi
akord yang jelas dan pasti. Dengan demikian, puji-pujian tersebut menjadi tidak
memiliki ‘jiwa/spirit’ sebagaimana makna yang terkandung di dalamnya, dan
sebagaimana peruntukkannya.
Puji-pujian
yang dipakai sebagai puji-pujian wajib di dalam liturgi kebaktian utama kita
khususnya kebaktian utama/Minggu adalah puji-pujian yang seharusnya ‘wajib’
pula diketahui dan bisa dinyanyikan oleh warga gereja/jemaat tanpa kecuali.
Puji-pujian tersebut seharusnya dinyanyikan dengan penuh kesungguhan dan
sukacita bukan dianggap sebagai sebuah ‘keterpaksaan saja’. Puji-pujian ini merupakan
nyanyian jemaat yang disesuaikan dengan tahapan/urutan proses kebaktian, dimana
setiap puji-pujian dilakukan sebagai ungkapan/respon jemaat dalam menyambut
dan/atau menanggapi setiap tahapan proses kebaktian. Sebagai contoh: Di dalam
Liturgi Model 1 (Himpunan Liturgi yang dikeluarkan oleh GMIT Majelis Jemaat
Imanuel Oepura dan Majelis Sinode GMIT), di tahapan awal Persiapan kebaktian,
setelah pembacaan warta mimbar, jemaat berdiri dan menyanyi Nyanyian Rohani No
3 atau Kidung Jemaat No 242 atau nyanyian lain untuk menyambut pendeta, majelis
memasuki ruang kebaktian; setelah Pengakuan Dosa, jemaat menyambutnya dengan
menyanyi TUHAN SAYANGILAH KAMI dan seterusnya hingga pada tahapan akhir
kebaktian.
Untuk bisa
menguasai puji-pujian yang dipakai di dalam liturgi kebaktian dengan baik dan
benar, maka cara/sistem pembelajaran yang telah dikemukakan di atas (‘ahli
waris’, pen) harus ditinggalkan. Perlu ada suatu metode pembelajaran dan
pelatihan yang terencana dan sistematis yang harus diterapkan oleh gereja
kepada warganya pada setiap kesempatan. Bila perlu metode tersebut pertama-tama
dibekali kepada calon-calon pendeta dan/atau pendeta yang nota bene sebagai
calon-calon pemimpin umat dan/atau pemimpin umat untuk selanjutnya diterapkan
kepada warga gereja/jemaat. Begitu pula hal yang sama diterapkan kepada para
penetua dan/atau diaken sebagai satu hal/syarat mutlak yang harus dipelajari
dan dikuasai.
Di samping
itu, perlu juga disusun sebuah Himpunan Liturgi Kebaktian yang dilengkapi
dengan puji-pujian liturgi yang dicetak secara jelas, lengkap dan benar. Himpunan liturgi dimaksud harus dicantumkan
seluruh petunjuk notasi dan sumber kutipan dari puji-pujian liturgi yang
dipakai. Kutipan-kutipan tersebut dapat dibuat sama seperti contoh kutipan yang
terdapat di dalam buku-buku himpunan puji-pujian seperti Kidung Jemaat,
Pelengkap Kidung Jemaat dan Nyanyikanlah Kidung Baru. Hal ini dimaksudkan untuk
menjadi dasar pegangan yang bertanggung jawab bagi semua warga gereja/jemaat
tanpa kecuali. Warga gereja/jemaat pun harus diberi arahan dan penjelasan akan
pentingnya puji-pujian di dalam satu kebaktian, dan harus diajak untuk mau
mempelajari puji-pujian dengan baik dan benar untuk mengejar ketertinggalan
kita dalam hal melakukan puji-pujian. Akhirnya, bersama-sama kita perlu saling
bahu membahu membenahi dan memperbaiki kondisi/praktek puji-pujian
jemaat/liturgi yang dipakai di dalam liturgi kebaktian kita untuk bisa menjadi
lebih baik di masa-masa yang akan datang. Semoga TUHAN menolong kita!







0 comments:
Posting Komentar