(OBROLAN DARI TERAS GEREJA)
“Tau katong mau
manyanyi ikut yang mana, song leader, ko, pendeta?? Song leader bikin dia
punya, pendeta ju bikin dia punya!” Sepenggal ungkapan frustrasi yang ‘sangat
sering’ dilontarkan oleh jemaat pada saat puji-pujian berlangsung. Sebuah
fenomena yang juga sering kita jumpai di hampir setiap kebaktian di
gereja-gereja dalam lingkup GMIT. Malah ada yang berseloroh: ”Orang bilang ‘dualisme kepemimpinan’ tu yang
seperti ini ni! Atau mungkin lebe pas kalo katong bilang kudeta?!”
Ungkapan-ungkapan
di atas sesungguhnya adalah gambaran ketidak-puasan warga/anggota jemaat yang
sebenarnya sudah jenuh dan kecewa dengan kesemrawutan
puji-pujian yang terjadi selama ini, dan sangat merindukan adanya pembenahan
serius yang berhubungan dengan fungsi/peran dan tugas pelayanan, khusus yang
berhubungan dengan ‘memimpin puji-pujian jemaat/liturgi’. Maaf, sudah menjadi
‘menu wajib’ yang selalu ‘dihidangkan’ oleh gereja (GMIT) di setiap kebaktian
kita khususnya kebaktian Minggu.
Kita bisa
melihat dan mendengar sendiri; pendeta dari atas mimbar dengan fasilitas
mikrofon yang sama dengan dan/atau bahkan lebih baik dari pemimpin pujian
saling ‘unjuk kebolehan’ menyanyikan puji-pujian jemaat/liturgi. Beruntung
kalau apa yang ditunjukkan oleh keduanya (pendeta dan pemimpin pujian) sama
atau selaras, tapi kalau tidak, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi?! Di
samping itu, ada pula oknum atau sekelompok warga/anggota jemaat yang memiliki
kecenderungan suka ‘menyalip dan/atau kejar-kejaran’ dengan pemimpin pujian. Ada kesan bahwa mereka
hendak ‘mempertontonkan’ kemampuan bernyanyi mereka kepada peserta kebaktian
lainnya bahwa mereka yang lebih pandai dari pada pemimpin pujiannya.
Sebenarnya
fungsi/peran dan tugas pelayanan di dalam rumah Tuhan harus diperjelas dan
dipertegas sehingga setiap individu yang bertugas mengerti dan menghargai akan fungsi/peran
mereka masing-masing, dan dapat melaksanakan tugas dan jabatannya sesuai dengan
aturan yang ditetapkan. Tidak perlu terjadi ‘salip-menyalip’ fungsi/peran dan
tugas antara satu dengan yang lainnya layaknya sebuah arena balapan. Setiap
individu berjalan di atas ‘rel’ masing-masing sesuai dengan fungsi/peran dan
tugasnya sehingga dengan sendirinya proses peribadatan dapat berlangsung dengan
baik, lancar, khusuk/hikmat, dan dengan penuh suka cita dan damai sejahtera.
Pemimpin pujian (song leader) adalah orang yang
ditugaskan memimpin puji-pujian jemaat dan/atau puji-pujian yang dipersiapkan
di dalam liturgi kebaktian. Ia diharapkan bisa menjadi contoh atau penentu arah,
serta pengatur ‘lalu lintas’ di dalam puji-pujian jemaat. Kendali pujian jemaat
sepatutnya hanya berada pada pemimpin pujian, karena ia (dipastikan) memiliki
penguasaan yang lebih baik akan setiap puji-pujian. Sehingga diharapkan ‘lalu
lintas’ puji-pujian dapat berjalan tertib dan teratur. Mengingat bukan sebuah
hal yang mudah, maka tugas dan jabatan ini haruslah diberikan kepada mereka
yang bukan hanya mau mengabdi tetapi juga memiliki kompetensi dan pengetahuan
yang memadai di dalam hal seni suara dan musik (hal yang sama juga
diperuntukkan bagi perekrutan pemain musik gereja: organis/pianis).
Khusus untuk pemimpin
pujian, diharapkan memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: pertama, memiliki kemampuan vokal yang
memadai: warna suara yang indah dan teknik olah vokal yang baik; kedua, memiliki kelebihan dalam hal
penguasaan puji-pujian: memahami, menguasai dan mampu membaca simbol-simbol
atau tanda baca notasi sehingga bisa menyanyikan setiap puji-pujian dengan baik
dan benar; ketiga, memiliki komitmen
untuk belajar dan terus belajar untuk bisa menyanyikan setiap puji-pujian
dengan baik, benar dan bertanggung jawab sesuai dengan kriteria kedua, sehingga
bisa ‘meruntuhkan tembok’ kebiasaan bernyanyi yang ‘salah’ yang ‘berdiri kokoh’
selama ini; dan ketiga, memiliki
naluri musikal yang baik: bisa menyesuaikan diri dengan musik pada saat menyanyikan
puji-pujian.
Untuk
mendapatkan orang-orang yang bisa memenuhi kriteria tersebut, gereja harus jeli
melihat, mencari, menyeleksi anggota jemaat yang memenuhi kriteria. Gereja,
bila perlu, harus bisa mempersiapkan anggota jemaatnya dengan melakukan/memberikan
pelatihan-pelatihan khusus untuk individu-individu terpilih (baca: calon-calon pemimpin
pujian) untuk tujuan dimaksud. Gereja tidak boleh asal menugaskan orang per
orang tanpa mempertimbangkan aspek-apek di atas. Tentu masih banyak aspek lain
yang perlu diperhatikan, namun setidaknya keempat kriteria di atas perlu
menjadi dasar pertimbangan dalam perekrutan.
Setelah
melakukan proses di atas, mengingat tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan,
maka gereja pun wajib memberi perhatian khusus kepada pemimpin pujian (dan organis/pianis
gereja), memfasilitasi mereka agar fokus dalam mengasah diri dengan terus
berlatih dan berlatih (bersama-sama dengan organis/pianis) untuk dapat
menciptakan kekompakan dan keharmonisan (di antara keduanya), dan memberi
jadwal latihan secara reguler sebagai proses persiapan (dengan didampingi oleh pendeta
atau majelis), untuk selanjutnya diterapkan di dalam proses puji-pujian yang
sesungguhnya di dalam kebaktian.
Akhirnya,
sekali lagi, pemimpin pujianlah yang harus memegang kendali ‘lalu lintas’ puji-pujian jemaat. Jemaat dan semua
yang terlibat di dalamnya harus menyesuaikan diri dengan atau berpatokan hanya
kepada pemimpin pujian. Semua hendaknya mau mempercayakan tanggung jawab ini
kepada pemimpin pujian, dan mau mengapresiasi fungsi/peran dan tugasnya. Tulisan
ini tidak bermaksud menyalahkan/memojokkan dan/atau membela siapa-siapa, tetapi
merupakan sebuah wujud kepedulian yang perlu dijadikan sebagai masukan dan
saran yang membangun untuk dapat mewujudkan suasana puji-pujian di dalam setiap
proses kebaktian di dalam lingkup GMIT menjadi lebih baik ke depannya. Semoga
TUHAN menolong kita!







0 comments:
Posting Komentar