“Apa yang harus dipikirkan/dilakukan oleh gereja untuk bisa membenahi kondisi musik pengiring dan/atau aksi pemain musik gereja menjadi lebih baik?” Sebuah pertanyaan yang harus dan segera menjadi perhatian gereja sekaligus menjadi pekerjaan rumah yang harus dan segera diselesaikan dan/atau dijawab pula oleh gereja. Sebagai wahana pengiring puji-pujian, tidak bisa dipungkiri bahwa musik pengiring memiliki fungsi dan peran yang sangat besar dalam sebuah proses peribadatan. Percaya atau tidak, musik pengiring turut memberi andil yang sangat besar dalam hal: 1) menjaga dan memelihara kekhusukan, kekudusan dan/atau kehikmatan beribadat kepada ALLAH, 2) memotivasi kesungguhan dalam memuji dan memuliakan ALLAH, 3) membangkitkan semangat beribadat dan/atau ‘menyemarakkan’ suasana berbakti kepada ALLAH, dan 4) mendukung tanggapan/respon jemaat kepada ALLAH, di hadapan hadirat ALLAH, dan atas kehadiran ALLAH.
Gereja di dalam lingkup GMIT, sejauh mata memandang, sebenarnya telah menyadari dan memiliki kepedulian yang cukup tinggi akan perlunya sarana musik di dalam gereja untuk kepentingan pelayanan. Perhatian dan kepedulian gereja tersebut dapat dilihat dari upaya penyediaan dan pengadaan sejumlah perangkat musik dan sarana musik lainnya (sound system, dll) oleh gereja untuk menunjang tugas dan pelayanan gereja. Bahkan gereja pun sudah betul-betul menyadari bahwa sarana musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gereja (hal wajib). Sebuah ‘kesadaran’ gereja secara turun-temurun yang patut diacungi jempol. Namun ‘kesadaran’ demikian barulah merupakan sebuah langkah/tahap/ide awal yang perlu ditindaklanjuti dengan langkah/tahapan pro aktif berikutnya. Langkah/tahapan berikut yang hampir tidak pernah dipikirkan oleh gereja adalah perhatian dan kepedulian yang seimbang kepada pemain musik gereja yang nota bene sebagai ‘the man behind the gun’ nya musik pengiring.
Sebenarnya, jika gereja sudah menganggap musik dan/atau musik pengiring memiliki fungsi/peran yang besar dalam peribadatan, maka sudah saatnya (wajib ‘hukumnya’) pula gereja harus peduli dan memberi perhatian yang seimbang kepada ‘the man behind the gun’ nya. Ya, sang pemain musik sebagai ‘ujung tombak’ musik pengiring perlu mendapat sorotan dan perhatian gereja yang sungguh-sungguh. Ada kecenderungan gereja tidak/belum mau berpikir untuk mempersiapkan dan menyediakan pemain musik gerejanya sendiri. Gereja kelihatannya masih menganggap pemain musik gereja sebagai sebuah faktor pelengkap atau mungkin lebih tepat disebut sebagai ‘tempelan’ yang tidak begitu penting dibanding dengan faktor-faktor lainnya. Ini adalah sebuah fenomena yang benar-benar aneh; ‘benda mati’ seperti alat musik (electone keyboard/piano/organ) dan sarana penunjang lainnya dianggap penting, tetapi yang memainkan/memngoperasikan alat musik tersebut dianggap belum/tidak penting.
Dari kenyataan tersebut, terkesan: 1) Gereja lebih mementingkan hal-hal yang berhubungan dengan mengupayakan/mempertontonkan ‘kekayaan materi’ dari pada melaksanakan hakekat pekerjaan pelayanan demi meningkatkan ‘kekayaan rohani’ domba-domba gembalaannya (baca: warga gereja/jemaatnya); 2) Gereja belum juga menunjukkan dasar pemahaman (teologis-alkitabiah) yang baik dan benar akan fungsi dan peran puji-pujian dan/atau musik yang mengiringi puji-pujian liturgi dalam sebuah kebaktian; dan 3) Gereja masih belum memiliki pemahaman yang jelas akan hal musik/bermusik dan/atau standard dan kriteria bermusik yang baik dan benar, sehingga cenderung bersikap masa bodoh dan meremehkannya. Seolah-olah ‘pekerjaan’ bermain musik mengiringi puji-pujian adalah hal mudah, sehingga untuk mendapatkan individu yang bisa memngoperasikan musik pengiring pun ‘gampang-gampang’ saja.
Di samping itu, ada pula kecenderungan lain yang sepatutnya tidak dilakukan oleh gereja yakni hanya menunggu dan mengharapkan ‘uluran tangan’ warga/anggota jemaatnya yang memiliki talenta musik dan mau dengan rela mengabdi atas nama pelayanan. Memang setiap warga gereja/jemaat yang dikaruniai bakat dan talenta bermusik oleh TUHAN sepatutnya memiliki kesadaran untuk turut melayani dan mengabdi di dalam tugas pelayanan gereja. Namun itu bukan berarti bahwa gereja hanya berharap dan menunggu. Gereja harus bisa ‘menjemput bola’ dengan melakukan penjaringan dan peng-kader-an secara professional, sehingga bisa mengeliminir kecenderungan ‘Ha-Ge: Harap Gampang’, ‘Te-Je: Terima Jadi’ dan ‘Te-Be: Terima Beres’, dan apalagi dengan dalil pelayanan, sengaja ‘memanfaatkan’ kelebihan/talenta yang dimiliki oleh warga gereja/jemaatnya. Kecenderungan-kecenderungan ini menyebabkan gereja mau tidak mau hanya bisa menerima apa adanya yang ‘disodorkan’ oleh pemain musik sesuai dengan pengetahuan dan kompetensi bermusiknya.
Konsekuensi yang bakal diterima gereja bisa berdampak positif dan sekaligus negatif pada tugas pelayanan gereja. Dampak positifnya adalah jika sang pemain musik memiliki dasar pengetahuan dan kompetensi bermusik yang baik, maka dengan sendirinya akan sangat mendukung fungsi dan peran musik pengiring yang seharusnya dalam sebuah peribadatan. Sedangkan dampak negatifnya adalah jika sang pemain musik tidak memiliki dasar pengetahuan dan kompetensi yang baik, maka sangat berpeluang menjadi ‘pengacau/pengganggu’ dalam setiap proses peribadatan. Untuk mengeliminir dampak negatif yang cenderung merusak tersebut, gereja disarankan mencontohi dan mengadopsi cara-cara dan/atau sistem professional dalam melakukan proses seleksi dan/atau perekrutan, dan pelatihan dan/atau pembinaan pemain musik gerejanya sebagaimana yang sudah dilakukan/diterapkan oleh beberapa gereja dari denominasi lain.
1) Proses seleksi dan perekrutan pemain musik gereja; gereja harus jeli mencari dan menyeleksi setiap warga/anggota jemaat yang memiliki bakat dan talenta dalam bidang musik untuk mendukung pelayanan gereja di bidang musik dan puji-pujian. Gereja, dalam hal ini komisi yang berhubungan dengan musik gerejawi, harus memiliki standard dan kriteria tertentu untuk menyeleksi dan merekrut pemain musik gereja. Standard dan kriteria tersebut adalah sejumlah persyaratan dasar yang berhubungan dengan pengetahuan dan kompetensi bermusik yang wajib dipenuhi/dimiliki oleh peserta seleksi (baca: calon pemain musik gereja).
Layaknya sebuah seleksi dan perekrutan, setiap warga/anggota jemaat yang memiliki bakat dan talenta bermusik diwajibkan menjalani sejumlah tahapan ‘fit and proper test’ (tes kepatutan dan kelayakan) sesuai dengan standard dan kriteria yang ditetapkan, khususnya yang berhubungan dengan musik gerejawi dan/atau musik pengiring puji-pujian jemaat/liturgi. ‘Fit and proper test’ tersebut dilakukan dengan maksud agar setiap warga gereja/jemaat yang terpilih sebagai pemain musik gereja sungguh memiliki pengetahuan dan kompetensi musik yang memadai dan terpercaya, sehingga diharapkan dapat menjalankan fungsi/perannya dengan baik dan bertanggung jawab di dalam tugas dan pelayanannya.
2) Begitu pula dengan proses pelatihan dan pembinaan pemain musik gereja; gereja perlu (disarankan) mempersiapkan pemain musik gerejanya sendiri guna dapat menunjang dan mendukung tugas dan pelayanan gereja secara maksimal. Gereja perlu membekali pemain musik gerejanya dengan pengetahuan dan kompetensi bermusik yang sesuai dengan standard dan kriteria yang ditetapkan, sehingga dapat menghasilkan pemain musik gereja yang terampil dan berkompeten. Gereja perlu mengupayakan dan memfasilitasi warga/anggota jemaat terpilih (baca: calon-calon pemain musik gereja) untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (sekolah/kursus) musik gerejawi untuk tujuan dimaksud.
Warga/anggota jemaat yang telah dipilih oleh gereja adalah mereka yang bersedia/berkomitmen menyepakati dan mau melaksanakan ‘kontrak kerja’ dengan pihak gereja. ‘Kontrak kerja’ yang dimaksud adalah ‘nota persetujuan, perjanjian dan/atau kesepakatan kerja’ antara gereja di satu pihak dan warga/anggota jemaat yang terpilih sebagai calon-calon pemain musik gereja di pihak lain. Layaknya sebuah ‘kontrak kerja’, maka perlu ditetapkan ‘aturan-aturan kerja’ yang jelas, ‘hak dan kewajiban’ dari kedua belah pihak, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan ‘reward and punishment’ (penghargaan dan sanksi) dalam menjalankan tugas pelayanan.
Gereja wajib memberi perhatian kepada pemain musik gereja untuk terus belajar dan berlatih, serta berlatih dan belajar untuk mengembangkan pengetahuan dan kompetensi bermusiknya, untuk kemudian ditetapkan sebagai bagian yang tak terpisahkan di dalam pelayanan. Gereja pun secara professional perlu memberi apresiasi yang memadai akan tugas dan pekerjaan pemain musik gereja. Dengan demikian, sang pemain musik adalah mutlak ‘milik’ gereja, bekerja, mengabdi dan melayani hanya untuk kepentingan pelayanan gereja dalam hal musik dan puji-pujian sesuai dengan ‘kontrak kerja’ yang telah disepakati. Tidak ada alasan bagi pemain musik gereja untuk ‘absen’ di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Ada beberapa pertimbangan mengapa gereja perlu melakukan proses (seleksi/perekrutan dan pelatihan/pembinaan) di atas bagi pemain musik gerejanya:
Pertama; Fungsi/peran musik pengiring adalah mengiringi puji-pujian liturgi/jemaat yang hampir mendominasi setiap tahapan proses kebaktian. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa musik pengiring memiliki fungsi/peran yang sangat besar dalam setiap kebaktian. Musik pengiring berpeluang ganda dalam menciptakan suasana berbakti yang berlangsung khusuk, hikmat, kudus, penuh semangat, kesungguhan, sukacita dan damai sejahtera, dan sebaliknya berpeluang menciptakan suasana gaduh/ricuh/kacau dalam sebuah kebaktian (tidak khusuk, tidak hikmat, dan seterusnya) yang cenderung menggiring dan menjerumuskan peserta kebaktian ke dalam pencobaan dan dosa.
Kedua; Berdasarkan pengalaman, kebanyakan pemain musik gereja yang ditugaskan oleh gereja-gereja di dalam lingkup GMIT adalah ‘sukarelawan-sukarelawan’ sejati yang bersimpati untuk membantu, melayani dan mengabdikan dirinya untuk tujuan pelayanan. Beruntung, jika sang ‘sukarelawan’ (baca: pemain musik) memiliki pengetahuan dan kompetensi bermusik yang memadai, tapi jika tidak? Gereja akan dihadapkan pada sebuah kondisi ‘simalakama’ yang sangat beresiko tinggi pada tugas dan pelayanannya. Mempertahankan musik pengiring yang ‘amburadul’ atau aksi pemain musik yang tidak berkompeten sama artinya dengan mengorbankan warga gereja/jemaat dalam hal mendapatkan sukacita dan damai sejahtera sorgawi, dan sebaliknya untuk mencegah warga gereja/jemaat jatuh ke dalam pencobaan, maka gereja harus mengorbankan (baca: meniadakan) musik pengiring dan/atau aksi pemain musik yang cenderung mengganggu kekhusukan, kekudusan, dan kesungguhan beribadah. Sebuah kondisi dilematis yang mau tidak mau harus diterima oleh gereja.
Ketiga; Gereja tidak berani memberi saran, kritik atau bahkan sanksi kepada pemain musik gerejanya berkenaan fungsi/peran dan tugasnya yang kurang maksimal, karena gereja tidak memiliki andil apa-apa dalam hal memberi bekal pengetahuan dan kompetensi kepada sang ‘sukarelawan’ tersebut. Gereja terpaksa hanya menatap pasrah (plus tanpa daya, pen) ‘korban-korban’ yang terus ‘berjatuhan’ di dalam tugas dan pelayanannya. Jemaat, sebagai ‘korban’ utama, menjadi tidak nyaman dan bahkan merasa terganggu dengan kehadiran musik pengiring dan/atau aksi pemain musik yang tidak memperhatikan unsur-unsur dasar seni musik, etika dan estetika bermusik yang bertanggung jawab.
Keempat; Sebagai ‘sukarelawan’, sang pemain musik gereja sudah tentu tidak bisa memberikan totalitas pelayanan secara maksimal, sehingga tentu pula gereja tidak bisa banyak berharap dan/atau menuntut lebih dari sang ‘sukarelawan’ tersebut. Gereja hanya patut bersyukur dan berterima kasih dalam ‘suka’ maupun ‘duka’, karena sudah ada yang rela meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu pelayanan gereja. Dalam ‘suka’ apabila fungsi dan peran musik pengiring berjalan semestinya, dan dalam ‘duka’ apabila fungsi dan peran musik pengiring terus ‘memakan korban’ dan hanya menjadi ‘gerakan pengacau’ ketertiban beribadat.
Memang untuk melakukan proses seleksi/perekrutan dan pelatihan/pembinaan seperti yang telah dijelaskan di atas tidaklah mudah. Ada sejumlah konsekuensi yang patut menjadi perhatian bersama baik oleh pihak gereja maupun pemain musiknya. Gereja, dengan melakukan proses-proses tersebut, mau tidak mau harus memikirkan dan/atau melakukan pengelolaan sistem administrasi dan manajemen yang professional dan bertanggung jawab dalam arti gereja sebagai sebuah institusi perlu menerapkan sebuah sistem kerja professional yang dapat menjamin kesejahteraan karyawannya termasuk pula pemain musik gerejanya. Pemain musik gereja pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja dalam melaksanakan tugas, fungsi dan perannya di dalam pelayanan gereja. Pada prinsipnya, gereja dan pemain musik gereja memiliki hubungan dan/atau ikatan kerja timbal balik, yang di dalamnya terdapat sejumlah hak dan kewajiban yang patut dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Demikianlah, gagasan yang berhubungan dengan gereja dan pemain musik gereja: Apa yang harus gereja pikirkan/lakukan untuk membenahi kondisi musik pengiring yang sesungguhnya memiliki fungsi dan peran yang sangat besar di dalam sebuah proses peribadatan? Untuk menjawabnya, gereja perlu memikirkan dan/atau melakukan cara-cara/sistem professional dalam hal melakukan proses seleksi dan/atau perekrutan, dan pelatihan dan/atau pembinaan pemain musik gerejanya. Gereja pun harus memikirkan dan/atau melakukan pengelolaan sistem administrasi dan manajemen yang professional dan bertanggung jawab, sehingga memiliki hubungan dan/atau ikatan kerja timbal balik, yang di dalamnya terdapat sejumlah hak dan kewajiban yang patut dipenuhi oleh gereja dan pemain musik. Semoga TUHAN menolong kita!







0 comments:
Posting Komentar