Kamis, 07 Juni 2012

PRAKTEK PUJI-PUJIAN GEREJAWI

(PANTAUAN DARI BALKON GEREJA)

Catatan Awal
     Aktifitas puji-pujian gerejawi di dalam setiap proses peribadatan merupakan sebuah bentuk respon/tanggapan jemaat/peserta kebaktian yang sekaligus juga merupakan sebuah ungkapan iman akan kebesaran dan kemuliaan ALLAH, kasih karunia, dan penyertaan ALLAH di dalam kehidupan beriman kita. Sebagaimana puji-pujian jemaat/liturgi, pemilihan dan penetapan nyanyian/lagu untuk dinyanyikan di dalam sebuah liturgi kebaktian pun disarankan atau harus mencerminkan nilai-nilai spiritualitas iman Kristiani yang menjunjung tinggi ALLAH Tri Tunggal sebagai pusat puji-pujian dan penyembahan, merefleksikan pergumulan rohani jemaat dan/atau gereja, serta memotivasi pertumbuhan dan perkembangannya.
Berhubungan dengan aktifitas puji-pujian gerejawi, ada kecenderungan yang kurang ‘mengenakkan’ di dalam cara dan/atau praktek bernyanyi yang dilakukan oleh jemaat/gereja (GMIT khususnya) terhadap lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dan lagu/puji-pujian rohani yang dipilih untuk mengisi sebuah liturgi kebaktian. Yang menjadi sorotan pembahasan kali ini adalah tentang cara dan/atau praktek bernyanyi yang tidak semestinya terhadap lagu/puji-pujian gerejawi (lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dan rohani, pen) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi teori, praktek, etika maupun estetika berkesenian.
Ada tiga hal penting yang menjadi penyebab utama ‘rusaknya’ cara/praktek bernyanyi. Pertama; kita (warga gereja/jemaat) cenderung mengabaikan petunjuk-petunjuk/tanda baca notasi secara keseluruhan, yang sebenarnya adalah dasar/elemen penting yang membentuk sebuah ‘bangunan’ komposisi (lagu/puji-pujian). Kedua; kita sama sekali menyepelekan hal-hal yang berhubungan dengan teknik dasar olah vokal, sehingga penyajian lagu/puji-pujian gerejawi dalam setiap kebaktian menjadi suatu hal yang sungguh tidak memenuhi standard teknik olah vokal yang baik. Ketiga; kita cenderung melupakan hal-hal teknis lainnya yang berhubungan dengan penghayatan dan ekspresi di dalam menyanyikan sebuah lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dan rohani, sehingga memberikan kesan ‘negatif’, mengerdilkan, dan bahkan mematikan ‘jiwa/spirit’ lagu/puji-pujian tersebut. Kecenderungan-kecenderungan ini sangat sering kita temui di dalam setiap proses peribadatan kita. Nyanyian-nyanyian liturgi/jemaat yang ‘sangat-amat-terlalu’ lambat, lesu dan tidak bersemangat, tidak sesuai ketukan/birama, dan tanpa ekspresi/penghayatan sering dipertontonkan oleh Pemimpin Pujian (Song Leader) dan/atau seluruh peserta kebaktian pada saat kebaktian berlangsung. Hal serupa pun sering terjadi pada atau sering dilakukan oleh sebagian kelompok Paduan Suara (PS), Vocal Group (VG), dan kelompok vocal lainnya dalam membawakan lagu/puji-pujian rohani di dalam sebuah liturgi kebaktian.

Lagu ‘Gampang’ Dan ‘Lama’
            Lagu/puji-pujian liturgi/jemaat yang dipakai di dalam setiap liturgi kebaktian adalah lagu/puji-pujian yang sudah dipakai sejak sekian lama yang terambil dari beberapa buku himpunan pujian seperti Tahlil, Nyanyian Rohani, Kidung Jemaat dan lain sebagainya yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi gereja/jemaat GMIT pada umumnya. Lagu/puji-pujian tersebut sering dan/atau selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan kebaktian kita sesuai dengan liturgi yang telah ditetapkan: Liturgi Kebaktian Utama (Model 1 dan Model 2), dan Liturgi Kebaktian Khusus lainnya (Paskah, Kenaikan, Pentakosta, Natal, dll). Karenanya, maka lagu/puji-pujian tersebut sudah dianggap ‘enteng’ dan ‘gampang’ oleh banyak kalangan warga gereja/jemaat itu sendiri. Lagu/puji-pujian tersebut sudah menjadi lagu/puji-pujian ‘lama’ yang biasa (selalu) dipergunakan oleh gereja (GMIT) dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.
            Ya, istilah lagu ‘gampang’ dan ‘lama’, sering ditujukan pada hampir semua lagu/puji-pujian liturgi/jemaat. Namun sangat disayangkan, istilah-istilah tersebut hanya tinggal istilah yang hampir tidak pernah dibuktikan sedikitpun di dalam praktek bernyanyi. Kita cenderung menganggap remeh lagu-lagu yang selalu atau sudah sering dinyanyikan tanpa mau menyadari apakah lagu/puji-pujian tersebut sudah dinyanyikan dengan baik dan benar atau belum, dan akhirnya kita dengan ‘over pe de’ nya (percaya diri yang berlebihan, pen) merasa bahwa cara/praktek kita menyanyikan lagu-lagu tersebut sudah baik dan benar adanya. Sebuah hubungan ‘sebab-akibat’ yang sungguh memprihatinkan di dalam melakukan aktifitas puji-pujian (bernyanyi, pen). Setiap lagu/puji-pujian ‘digampang-gampangkan’ sesuai selera dan kehendak hati, diubah ‘semau gue’, dan ‘diamputasi jiwa dan spiritnya’ demi memuaskan hasrat pribadi. Dan lebih parah lagi, semua tindakan tersebut dilakukan dengan penuh keangkuhan tanpa merasa bersalah/berdosa sedikit pun. Sebenarnya, tindakan-tindakan tersebut sudah cukup membuktikan bahwa kita adalah ‘tersangka/pelaku utama yang membunuh jiwa dan spirit kekristenan’ kita sendiri (dan perlu/patut dijerat dengan pasal berencana, pen).
            Sebenarnya kita sebagai warga gereja/jemaat dan/atau peserta kebaktian telah ‘hanyut’ terbawa ‘arus tradisi’ bernyanyi yang suka menyalahi prinsip-prinsip dan aturan-aturan dasar seni baik secara teori maupun praktek. ‘Tradisi’ tersebut yang akhirnya menjadi ‘warisan’ turun-temurun gereja/jemaat yang berada di bawah naungan GMIT dari masa ke masa. Upaya merubah tradisi yang telah mendarah daging tersebut terkesan sangat sulit untuk dilakukan baik oleh pihak gereja maupun oleh jemaat sendiri. Bahkan komisi khusus yang membidangi musik gerejawi pun tidak mampu berbuat banyak untuk membenahi cara/praktek puji-pujian kita.  Sudah saatnya gereja, khususnya komisi musik gerejawi, perlu/harus diperlengkapi dengan SDM (sumber daya manusia) yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang seni musik dan seni suara. Dengan demikian maka gereja diharapkan mulai melakukan sebuah terobosan baru yang berpihak pada pembenahan lagu/puji-pujian (dan musik) gerejawi di dalam praktek. Terobosan yang dimaksud adalah memberikan pedoman dan arah (petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan) yang jelas dan terpadu yang berhubungan dengan praktek puji-pujian (dan musik pengiring) berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan dasar seni musik dan seni suara yang didasari pula dengan sebuah tinjauan teologis-alkitabiah yang baik.

 “Kembali Ke Teks Asli…!”
Di dalam GMIT, cara/praktek bernyanyi atau melakukan puji-pujian yang baik, benar dan bertanggung jawab seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini perlu dan harus menjadi fokus perhatian semua pihak (gereja/jemaat) karena sesungguhnya cara/praktek yang dilakukan selama ini masih sangatlah jauh dari harapan kita semua: ‘bernyanyi asal bernyanyi’ tanpa mau memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan prinsip/aturan dasar, etika dan estetika berkesenian. Padahal, ‘bernyanyi’ sebagai salah satu bagian seni di dalam sejarah kehidupan umat manusia (dan seni/kesenian yang lain) memiliki prinsip dan aturan tertentu yang harus ditaati demi mempertahankan ciri khas dan hakekatnya.
Ada sebagian besar kalangan di dalam gereja/jemaat yang sama sekali tidak mempersoalkan kondisi ini. Ini telah dianggap dan/atau telah diterima sebagai hal yang sangat ‘wajar dan biasa-biasa’ saja, dan bahkan cara/praktek yang ‘salah’ ini pun (sekali lagi, cara/praktek yang ‘salah’ ini pun) sudah diterima dan diakui sebagai sebuah cara yang ‘benar’ yang dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun, dan bahkan terus dipertahankan sebagai ‘ciri khas’ yang membedakan GMIT dengan denominasi lainnya. Dikatakan demikian karena selama ini, kalau tidak salah, belum pernah ada upaya-upaya serius dan sistematis yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (di dalam gereja/jemaat) untuk merubah atau mereformasi cara/praktek dimaksud. Kalau pun ada, upaya-upaya dimaksud masih sebatas wacana yang hanya diperbincangkan dan dikeluhkan tanpa suatu tindakan nyata untuk memperbaiki. Atau kalau pun ada, upaya-upaya dimaksud mungkin belum atau tidak mau ditanggapi, dan/atau bahkan ditolak oleh karena bertentangan dengan ‘tradisi’ gereja/jemaat??!!
Sebenarnya kita bisa berubah, kalau saja kita sadar dan mau merubah pola pikir kita, karena ‘gangguan’ sesungguhnya ada pada ‘pola pikir’ kita, bukan yang lain. Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, kita (gereja/jemaat, pen) cenderung dan senang sekali ‘menggampang-gampangkan’ dan ‘menganggap remeh’ puji-pujian gerejawi khususnya puji-pujian liturgi/jemaat, tanpa sedikitpun memperlihatkan cara/praktek bernyanyi yang baik, benar dan bertanggung jawab. Kita dengan sangat percaya dirinya bangga dengan cara/praktek bernyanyi yang hanya diperoleh dari ‘mulut ke mulut’ (layaknya gossip atau kabar angin?!) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepatutan dan kelayakannya. Jika pola pikir kita telah berubah, maka kita akan benar-benar sadar dan malu bahwa ternyata kita ‘keliru’ dan ‘salah’ menyanyikan ‘semua’(?) lagu/puji-pujian gerejawi khususnya lagu/puji-pujian di dalam Himpunan Liturgi, Kidung Jemaat, dll.
Ada satu jalan keluar sebagai satu-satunya alternatif terbaik yang dapat menggiring kita untuk memulai cara/praktek bernyanyi yang baik, benar, dan bertanggung jawab. Jalan keluar dimaksud, tidak lain tidak bukan, adalah ‘kembali ke teks asli’ lagu/puji-pujian sebagai satu-satunya sumber yang patut dipercaya. Ya, gereja/jemaat disarankan mulai membiasakan diri untuk mencari, membuka, melihat dan mempelajari kembali ‘teks asli’ lagu/puji-pujian yang dipakai sebagai ‘lagu wajib’ di dalam himpunan liturgi kebaktian kita. ‘Kembali ke teks asli’ adalah satu-satunya jalan terbaik untuk merubah cara/praktek bernyanyi yang semestinya sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu, bukan sesuai keinginan/kehendak kita dan/atau ‘tradisi’. Bernyanyi sesuai dengan perintah simbol dan petunjuk notasi yang ada di dalam sebuah lagu: memperhatikan birama, tempo, dinamika, perasaan, dan petunjuk teknis lainnya yang membangun sebuah komposisi lagu/puji-pujian.
Diakui, untuk mendapatkan ‘teks asli’ lagu/puji-pujian dimaksud, kecuali yang terambil dari Kidung Jemaat, memang agak sulit karena kebanyakan lagu/puji-pujian yang dipakai di dalam liturgi kebaktian berasal dari sumber-sumber lama (Tahlil, Nyanyian Rohani, dll) yang sulit diperoleh saat ini. Dengan demikian maka adalah tugas dan kewajiban GMIT dan/atau gereja-gereja GMIT sebagai institusi dan/atau komisi yang membidangi musik gerejawi untuk memfasilitasi dan menyediakan bagi warga jemaat untuk bisa memilikinya. Memang GMIT dan/atau beberapa gereja GMIT telah melakukan langkah tersebut dengan menerbitkan buku saku dan/atau buku himpunan liturgi kebaktian (Model 1, Model 2, dll). Namun sangat disayangkan, kutipan lagu/puji-pujian yang ada tidak disertai dengan pencantuman simbol dan/atau petunjuk notasi lagu yang benar sesuai dengan ‘teks’ lagu asli. Ini adalah sebuah bentuk pembodohan terhadap jemaat yang nota bene belum/tidak pernah melihat dan mendengar bentuk asli lagu/puji-pujian tersebut (khususnya Tahlil, Nyanyian Rohani dll). Bahkan pengutipan lagu dari Kidung Jemaat pun terkadang masih juga salah. Bagaimana jemaat bisa belajar melakukan praktek bernyanyi yang ‘benar’ jika salinan lagu/puji-pujian tidak sama/sesuai dengan teks aslinya?!

“Ko Hanya Puji Tuhan Sa Ju…!”
            Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang ‘tradisi’ bernyanyi yang telah menjadi ‘warisan’ gereja/jemaat, ‘tradisi’ tersebut juga telah membentuk pola pikir gereja/jemaat GMIT secara permanen tentang makna dan hakekat puji-pujian. Sebuah pola pikir, yang menurut hemat saya, sangat bertolak belakang dengan Kristen dan/atau Kekristenan. Bagaimana tidak, jika puji-pujian kepada ALLAH dalam bentuk nyanyian/lagu tidak wajib dipelajari dan dikuasai oleh warga gereja/jemaat?! Bagaimana tidak, jika puji-pujian kepada ALLAH dalam bentuk nyanyian/lagu bahkan dianggap tidak penting?! Ada ungkapan-ungkapan (dalam bahasa Kupang, pen) seperti: “Ko hanya puji TUHAN sa ju…!”, “Yaah…, yang penting puji TUHAN-laah…!” sering diucapkan ketika seseorang/sekelompok orang hendak melakukan aktifitas bernyanyi (memuji dan memuliakan TUHAN) di dalam rumah TUHAN.
            Ungkapan-ungkapan tersebut, sebenarnya, adalah cerminan pola pikir warga gereja/jemaat akan makna dan hakekat puji-pujian kepada ALLAH. Sadar atau tidak, ungkapan tersebut terkandung beberapa makna yang patut menjadi perhatian kita semua, karena ungkapan tersebut muncul sebagai akibat dari upaya iblis yang ingin menjauhkan kita dari ALLAH atau dari hadapan hadirat ALLAH, dan juga upaya iblis merampas kebesaran dan kemuliaan ALLAH. Sadar atau tidak, kita sering berlindung di balik ungkapan yang sebenarnya adalah ciptaan iblis tersebut, sehingga iblis berhasil memperdayai kita yang sebenarnya adalah anak-anak ALLAH, umat perjanjian dan umat pilihan ALLAH untuk memberikan pujian dan persembahan yang terbaik dan sempurna kepada ALLAH kita. Ya, ungkapan yang menempatkan Tuhan ALLAH kita pada prioritas ke-sekian: bukan yang pertama dan utama; ungkapan yang mengijinkan kita melakukan persembahan puji-pujian dengan tidak sungguh-sungguh atau bukan yang terbaik kepada ALLAH; ungkapan yang menganggap remeh kebesaran dan kemuliaan ALLAH; dan ungkapan yang mencerminkan keangkuhan diri (baca: ego pribadi, pen) yang menempatkan ALLAH di belakang diri kita.
            Ada begitu banyak contoh dari praktek puji-pujian yang dilakukan di dalam rumah TUHAN yang seharusnya tidak terjadi. Ya, cara/praktek bernyanyi yang tidak memenuhi syarat-syarat berkesenian yang bertanggung jawab sering dipertontonkan di hampir setiap proses kebaktian. Praktek puji-pujian gerejawi baik oleh Prokantor (pemandu puji-pujian atau biasa disebut sebagai song leader), jemaat dan/atau seluruh peserta kebaktian maupun oleh kelompok PS, VG, dan/atau kelompok vokal lainnya dalam mengisi liturgi kebaktian yang masih sangat jauh dari harapan, dan belum mencerminkan spirit kekristenan kita.
Pdt. (Alm.) Wem FanggidaE pernah, pada sebuah kesempatan kebaktian Minggu, memberikan teguran keras kepada kelompok PS dan VG yang ‘bernyanyi asal bernyanyi’. PS suara tersebut bernyanyi dengan tidak memperhatikan harmonisasi vokal yang baik sejak awal sehingga terdengar ‘fals’. PS tersebut akhirnya dihentikan di ‘tengah jalan’ oleh pendeta dari atas mimbar setelah dua kali kesempatan yang diberikan untuk melakukan ‘tune’ vokal yang baik tetap gagal. Begitu pula dengan kelompok VG yang asal bernyanyi dan sama sekali tidak menunjukkan sebuah penampilan terbaik bagi TUHAN. Pujian yang dinyanyikan terdengar datar, hambar, loyo/lesu, tidak bersemangat, tidak harmonis, tanpa ekspresi dan membosankan. Pendeta berkata: “Pulang…dan latihan lagi, kalau sudah bagus, baru datang nyanyi di gereja! Di sini kita bukan bernyanyi untuk siapa-siapa, tapi untuk memuji dan memuliakan Tuhan ALLAH kita! Jadi, lagu/puji-pujian yang dipersembahkan haruslah yang terbaik! Jangan asal-asal! Kalau tidak serius, tidak sungguh-sungguh memuji TUHAN, lebih baik urungkan niat anda untuk bernyanyi!”
            Menilai teguran pendeta di atas, teguran tersebut sangatlah adil dan pantas. PS dan VG dan/atau kelompok vokal lainnya yang tidak mempersiapkan diri dengan baik/matang sebaiknya mengurungkan niatnya untuk bernyanyi di dalam rumah TUHAN. Sebenarnya, sebuah PS/VG adalah sebuah kelompok vokal yang tentu harus memiliki dan/atau menghadirkan paduan harmonisasi vokal dari jenis-jenis suara yang berbeda pada saat bernyanyi, dan menunjukkan sebuah kekompakan vokal dan/atau bernyanyi yang baik. Kelompok-kelompok ini terdiri dari sejumlah orang/anggota dan/atau penyanyi yang berkumpul dengan sengaja dan terencana untuk tujuan yang sangat mulia; memuji dan memuliakan TUHAN.
Namun sangat disayangkan jika sebuah kelompok vokal (PS/VG) yang ingin mempersembahkan puji-pujian di dalam rumah TUHAN dalam ‘aksinya’ tidak lebih bagus/baik dari sekelompok orang ‘mabuk’ yang bernyanyi di pinggir jalan. Atau apa gunanya kita membuat/membentuk sebuah PS/VG jika hasil akhir dari praktek bernyanyi yang kita lakukan tidak memiliki ‘nilai lebih’: tidak lebih indah, atau tidak lebih rapi, tidak lebih kompak dan/atau tidak lebih harmonis dari sekelompok orang yang berkumpul dan bernyanyi secara spontan tanpa persiapan dan latihan?!
Dalam iman, tentu kita semua percaya bahwa melakukan puji-pujian yang baik adalah sebuah bentuk persembahan yang berbau harum di hadapan hadirat ALLAH. Bukankah kita percaya bahwa ALLAH bertahta di atas puji-pujian? Kita dituntut untuk melakukan dan/atau memberikan persembahan yang terbaik sebagai wujud dari ungkapan syukur kita kepada ALLAH, pujian bagi kemuliaan ALLAH, dan sembah kepada ALLAH kita. Di samping berbau harum di hadapan hadirat ALLAH, persembahan puji-pujian yang terbaik itu pun akan sangat berpengaruh positif bagi jemaat/peserta kebaktian atau siapa pun yang mendengar dan/atau menyimaknya. Semua yang mendengar akan turut bersuka cita dalam memuji dan memuliakan ALLAH dan tentu turut serta merasakan dan mendapatkan kasih, suka cita dan damai sejahtera sorgawi yang terkandung di dalam puji-pujian tersebut. Demikianlah seharusnya prokantor (song leader), jemaat/peserta kebaktian, dan PS/VG atau kelompok vokal lainnya dalam melakukan praktek puji-pujian gerejawi di dalam rumah TUHAN. AMIN!

Catatan Akhir
            Dari uraian dan penjelasan di atas, sekiranya semua pihak (gereja/jemaat) mau menyadari kekurangan dan/atau kelemahan kita dalam hal cara/praktek bernyanyi dan/atau melakukan puji-pujian gerejawi, baik lagu/puji-pujian liturgi/jemaat maupun lagu/puji-pujian rohani di dalam mengisi liturgi kebaktian kita. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan:
Pertama: sudah saatnya semua pihak sadar dan mau merubah pola pikir untuk mulai membenahi dan memperbaiki cara/praktek bernyanyi yang ‘salah’ yang telah ‘mentradisi’ secara turun-temurun.
Kedua: kita harus bisa membuktikan setiap lagu yang dianggap ‘gampang’ dan ‘lama’ dengan memperlihatkan cara/praktek bernyanyi yang baik, benar dan bertanggung jawab sesuai dengan simbol dan petunjuk notasi yang seharusnya, sehingga disamping memenuhi syarat-syarat etika dan estetika berkesenian, jiwa/spirit lagu/puji-pujian dan/atau jiwa/spirit kekristenan di dalam lagu/puji-pujian pun dapat terselamatkan.
Ketiga: kita pun tidak perlu merasa malu (gengsi, pen) untuk mengakui bahwa kita sebenarnya belum bisa bernyanyi sesuai dengan sejumlah pra syarat yang dikemukakan di atas. Kembali ke teks adalah satu-satunya cara ampuh bagi kita sebagai orang Kristen untuk ‘bisa bernyanyi’. Belajar dan berlatih sesuai teks lagu.
Keempat: ungkapan-ungkapan seperti “Ko hanya puji TUHAN sa ju…!” atau “Yaah…, yang penting puji TUHAN…!” harus disingkirkan jauh-jauh dari hati dan pikiran kita, karena sesungguhnya ungkapan-ungkapan tersebut adalah tipu daya iblis dalam rangka merampas hak-hak dan kekuasaan ALLAH.  Kita pun harus merubah pola pikir kita bahwa melakukan persembahan lagu/puji-pujian kepada ALLAH haruslah yang terbaik dari yang terbaik. Semoga TUHAN menolong kita!

0 comments:

Posting Komentar